Tema mengenai anggaran pendidikan seakan menjadi teramat sentral tatkala Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya No. 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 menyatakan bahwa selama anggaran pendidikan belum mencapai 20% sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, maka APBN akan selalu bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tentunya menyisakan komplikasi masalah yang pelik mengingat kapasitas anggaran pemerintah yang terlihat belum mampu memenuhi amanat konstitusi tersebut.
Persoalan menjadi semakin rumit ketika uu sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat 1 juga menyebutkan bahwa amanat anggaran pendidikan 20 % dari APBN tersebut tidak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Beragam opsi pun mengemuka, tetapi yang jelas anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN akan sulit dilaksanakan baik bertahap maupun secara langsung kecuali ada terobosan-terobosan revolusioner dari pemerintah.
Beberapa Alternatif
Upaya untuk memenuhi porsi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sesungguhnya akan selalu berkisar pada tiga cara yang dapat ditempuh, yaitu melalui peningkatan penerimaan negara, atau melalui pengetatan belanja negara atau dengan mengupayakan kelebihan pembiayaan.
Terkait dengan peningkatan penerimaan negara, pengoptimalan sektor perpajakan merupakan opsi yang paling realistis mengingat sumber-sumber penerimaan bukan pajak sangat fluktuatif, tergantung pada berkembangnya faktor eksternal yang relatif sulit dikendalikan. Akan tetapi, upaya untuk menaikkan pendapatan dari sektor perpajakan biasanya akan menimbulkan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap variabel ekonomi makro seperti penurunan kinerja investasi, peningkatan laju inflasi, perlambatan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan angka pengangguran.
Alternatif berikutnya adalah pengetatan belanja negara. Hal ini juga tidak mudah untuk dilakukan mengingat sebagian besar beban pengeluaran negara bersifat non-discretionary (kaku). Pengurangan anggaran belanja tentunya akan berakibat pada tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi pemerintah, yang pada tahun 2006 adalah sebesar 5,9% dan 6,4% untuk tahun 2007.
Akan tetapi, jika merujuk data yang berasal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan, sesungguhnya ada sejumlah pos anggaran pada beberapa Departemen yang bisa dikurangi mengingat kurang optimalnya penyerapan anggaran. Betapa tidak, realisasi belanja negara dalam semester I 2006 baru mencapai Rp 238,1 triliun atau 36,8% dari target APBN. Kondisi ini ditengarai karena mandegnya realisasi belanja yang dilakukan oleh kementerian atau lembaga negara akibat dari belum sempurnanya pelaksanaan sistem administasi dan tata cara pelaksanaan anggaran yang baru. Konon, penghematan dari anggaran kementerian atau lembaga ini bisa mencapai minimal Rp 7 triliun!
Pemangkasan anggaran juga bisa menjadi opsi yang memungkinkan ketika hingga saat ini kita masih menemukan banyak penyimpangan yang terjadi mulai dari tahapan perencanaan hingga tahap pembelanjaan anggaran yang sangat tidak efisien dilaksanakan oleh Departemen-Departemen, sebagaimana terungkap dalam temuan BPK setiap tahunnya.
Alternatif yang lain adalah mengupayakan kelebihan pembiayaan. Ini bisa dilakukan dengan menerbitkan SUN, privatisasi atau dengan merestrukturisasi utang luar negeri melalui debt swap dan pemotongan utang. Debt swap untuk program pendidikan merupakan program yang paling realistis karena tentunya hal ini sejalan dengan target Millennium Development Goals (MDG’s) yaitu agar setiap anak di dunia dapat mencapai dan menyelesaikan program pendidikan dasar. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Swedia dan Kanada bahkan sudah menawarkan debt swap, tetapi pemerintah Indonesia selalu lambat dalam merespon tawaran ini. Pemerintah semestinya mampu menyerap debt swap sekitar US$ 1,2 miliar setiap tahunnya.
Kelebihan pembiayaan, sebagaimana telah disebutkan diatas, juga dapat berasal dari pemotongan utang luar negeri. Hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan yang revolusioner karena pemerintah Indonesia belum pernah sekalipun melaksanakan opsi yang satu ini. Opsi ini terbuka karena sesungguhnya, negara-negara kreditor yang tergabung dalam G8 pada tahun 2003 telah melakukan sebuah pertemuan di Evian, Perancis untuk mengklasifikasikan sebuah pendekatan dalam menanggulangi permasalahan utang pada negara-negara berpendapatan menengah.
Pendekatan ini bertujuan untuk menyelesaikan dan memformalkan solusi atas permasalahan sustainabilitas dari negara-negara non-HIPC (Highly Indebted Poor Countries), serta untuk menyediakan sebuah kerangka analisa kondisi utang di masing-masing negara. Pendekatan Evian ini pada dasarnya diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan sustainabilitas utang luar negeri dimana jika ketidakmampuan membayar utang dikarenakan permasalahan sustainabilitas yang teramat parah, maka mekanisme yang diterapkan bisa sangat ekstrim seperti hair cut dan write off. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki masalah sustainabilitas hutang luar negeri yang teramat parah. Angka 45,63% debt to GDP ratio sedikit banyak telah bercerita.
Problem Depdiknas
Dalam konteks memenuhi anggaran pendidikan 20% dari APBN, permasalahan ternyata tidak hanya berada pada kesulitan pemenuhan target persentase anggaran tersebut, tetapi juga pada efektifitas pengelolaan anggaran pendidikan di Depdiknas yang masih sangat jauh dari harapan. Pelbagai penyimpangan terkait dengan penggunaan anggaran merupakan imbas dari ketidakefektifan ini.
Tengok misalnya temuan dari Kelompok Komisi X (Bidang Pendidikan) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) terhadap review APBN Depdiknas tahun 2006. FPKS menemukan tumpang tindih antara kegiatan dan anggaran dalam satu program, antarprogram dan antar satuankerja. Inefisiensi dalam pengalokasian anggaran juga mendapat sorotan dalam review ini. Belum lagi posisi belanja modal yang tidak digambarkan secara detail. Penyusunan Rencana Kerja Anggaran pun ternyata belum dibuat secara terperinci, dengan belum dimasukkannya aspek alokasi, distribusi, lokasi dan waktu. Sementara itu,
evaluasi tentang pencapaian realisasi program dan kegiatan yang sudah direncanakan dalam Renstra, RPJM dan RKP Depdiknas pun belum dilaksanakan.
Catatan Akhir
Tentunya kita semua sadar bahwa diperlukan banyak pembenahan dalam anggaran pendidikan. Amanat Konstitusi mengenai pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN tentunya merupakan sebuah beban tatkala proses alokasi anggaran pendidikan belum efisien dan masih ditemukan kebocoran disana-sini.
Yang paling mungkin terpikirkan untuk bisa dijadikan alternatif solusi jangka pendek agar kita bisa keluar sementara dari kemelut konstitusi ini adalah dengan dikeluarkannya Perpu oleh Pemerintah yang membatalkan UU SISDIKNAS pasal 49 ayat 1, yang mengecualikan gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dalam anggaran pendidikan yang 20% dari APBN. Hal ini menjadi sesuatu yang penting karena jika porsi anggaran untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dimasukkan dalam porsi anggaran pendidikan, maka persentase anggaran pendidikan yang dewasa ini masih berada pada kisaran 9,1% dari APBN, boleh jadi akan meningkat mendekati 20%.
Keberanian untuk melakukan Pemotongan porsi anggaran di Departemen-Departemen yang tidak efisien dalam menjalankan anggaran juga layak untuk menjadi pertimbangan.
Sementara itu, jika tindakan yang dilakukan pemerintah masih berupa tindakan yang konvensional, maka jangan pernah berharap bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana yang diamanatkan konstitusi akan bisa diberlakukan dalam waktu dekat.
No comments:
Post a Comment