Tuesday, March 25, 2008

Pentingnya Menjaga Ekspektasi Pasar

Euforia yang tengah terjadi di pasar modal tiba-tiba saja terusik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang selama ini akrab dengan rekor-rekor positif, pada perdagangan minggu ke dua bulan Januari, akhirnya terjungkal sebesar 154,5 poin ke level 1678 (turun 8,4%). “Gelembung itu telah pecah” pekik para pengamat, bayangan krisis serta potret buram akan kinerja ekonomi sepanjang tahun 2007 pun terus bergelayut dalam dalam benak. Benarkah para pemodal asing telah berkemas dan bersiap hengkang dari nusantara? Terlalu awal untuk disimpulkan, karena tenyata memasuki minggu ketiga Januari, indeks telah berangsur pulih dan membiarkan kita untuk menghela nafas sejenak. Meskipun indeks harga saham bukan menjadi kriteria pokok dalam menilai kinerja ekonomi suatu negara, tetapi paling tidak indikator ini bisa merekam ekspektasi dari pasar yang bisa dijadikan acuan dalam merancang sebuah kebijakan yang tepat.

Mempertahankan Ekspektasi Pasar.

Sektor finansial Indonesia sebenarnya masih cukup baik. dengan menggunakan indikator BPI (Banking Pressure Index) yang dikembangkan oleh Danareksa Research Institute, BPI Indonesia ternyata masih berada dibawah level 0,5. BPI diatas 0,5 menunjukkan kondisi sektor finansial yang tertekan sementara BPI dibawah 0,5 memperlihatkan kondisi sektor finansial yang cukup sehat. Dengan kata lain, sektor finansial di Indonesia sebenarnya masih cukup mumpuni. Beberapa indikator makro ekonomi secara umum juga mendeskripsikan dasar yang kuat untuk menopang kinerja ekonomi sepanjang tahun 2007 seperti laju inflasi yang rendah, defisit APBN yang rendah, serta cadangan devisa yang memadai. Dengan latar belakang itu tentunya tak ada alasan bagi para investor untuk melakukan rasionalisasi portfolio secara masif di Indonesia. Satu hal yang patut kita perhatikan adalah pentingnya menjaga ekspektasi pasar, karena alasan investor untuk berinvestasi di Indonesia, selain karena fundamental ekonomi yang kuat, adalah ekspektasi mereka mengenai potensi keuntungan yang besar.

Gap antara harga saham dengan kinerja emiten yang cukup besar sebenarnya bisa diartikan bahwa pelaku pasar mengekspektasikan bahwa adanya peningkatan kinerja emiten di masa mendatang sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang stabil di masa mendatang. Dengan kata lain proses decoupling antara sektor riil dan finansial tidak semata-mata dinisbatkan sebagai aksi gelembung spekulatif akan tetapi lebih ke arah aksi gelembung rasional (rational economic bubble). Investor cenderung mengekspektasikan kebangkitan sektor riil untuk menopang keberlangsungan dari sektor finansial. Akan menjadi masalah yang besar jika ekspektasi ini tidak dapat dipenuhi oleh para pembuat kebijakan. Kasus PT Perusahaan Gas Negara (PGN) kiranya dapat kita jadikan pelajaran, kekecewaan para pemodal asing terhadap manajemen PGN akibat penundaan komersialisasi pipa gas Sumatera Selatan-Jawa Barat, diekspresikan dengan dibuangnya saham PGN secara masif sehingga membuat harganya terjungkal 23,32% atau Rp2.250 dari Rp9.650 menjadi rp7.400 persaham. Tersungkurnya saham PGN pada gilirannya menyeret jatuh IHSG di BEJ.

Permasalahan Intermediasi Perbankan

Sistem keuangan memainkan peran vital dalam mentransmisikan kebijakan moneter kepada sektor riil. Dari sekian banyak jalur transmisi kebijakan moneter yang telah berhasil diidentifikasi, seluruhnya bekerja melalui sistem keuangan, baik berupa lembaga intermediasi (bank dan nonbank) maupun pasar keuangan.

Sistem keuangan yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan memiliki ketahanan yang tinggi merupakan prasyarat bagi kelancaran mekanisme transmisi kebijakan moneter. Melalui fungsinya dalam pengumpulan dan penyaluran dana serta pembentukan suku bunga, sistem keuangan sangat menentukan efektivitas kebijakan moneter dalam memelihara kestabilan makroekonomi. Di samping itu, sistem keuangan juga harus memiliki ketahanan yang tinggi. Pengalaman krisis 1997 – 1998 menunjukkan bahwa akibat lemahnya ketahanan system keuangan, khususnya perbankan, fungsi intermediasi perbankan sempat terhenti dan hingga saat ini belum sepenuhnya berjalan optimal. Akibatnya, efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui perbankan menjadi berkurang.

Seiring dengan aktivitas ekonomi yang semakin berkembang, peranan bank sangat penting dalam mempengaruhi kinerja perekonomian, khususnya di Indonesia di mana perbankan menguasai sebagian besar pangsa dari sistim keuangan yang ada. Fungsi utama bank pada dasarnya adalah sebagai lembaga intermediasi keuangan yang bertugas mengumpulkan dana dari masyarakat yang kelebihan dana (idle fund/surplus unit) kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit unit). Jika fungsi intermediasi keuangan ini dapat berjalan dengan baik, maka kredit bank menjadi sangat esensial untuk mendorong pertumbuhan sektor riil.

Akan tetapi, perbankan nasional masih belum sepenuhnya berhasil dalam menjalankan fungsinya. Hal ini setidaknya dapat dilihat melalui perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) pada tahun 2006 hanya sebesar 61,92%. Rendahnya LDR tentunya berkonsekuensi pada tingginya likuiditas yang dihadapi perbankan. Likuiditas yang berlebih ini kemudian ditanam di SBI dan meninggalkan sektor riil pada kondisi yang kembang kempis. Perilaku bank ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat masih belum kondusifnya kondisi di sektor riil sehingga bank kesulitan untuk menempatkan dananya.

Celakanya, pertumbuhan kredit yang cukup lambat sepanjang tahun 2006 tidak hanya dari sisi penawaran (kreditur) tetapi juga berasal dari sisi permintaan (debitur). Tingginya risiko serta ketidakpastian ekonomi menyebabkan kepercayaan para pelaku usaha terhadap kondisi ekonomi menjadi semakin menurun. Akibatnya, penyerapan kredit oleh kalangan dunia usaha juga menjadi relatif terbatas. Ketidaksiapan para pelaku di sektor riil ini setidaknya dapat dilihat dari besarnya undisbursed loan sepanjang tahun 2006 yang telah mencapai besaran fantatis yaitu Rp150 triliun. Pembiaran atas kondisi ini tentunya berimplikasi pada terjadinya mismatch antara harapan dan realita.

Menjaga Ekspektasi

Seperti biasa, pemerintah mengisi setiap permulaan tahun dengan program-program kebijakan. Pemerintah tahun ini pemerintah berkomitmen untuk melakukan usaha-usaha pengentasan kemiskinan, mengurangi angka pengangguran serta membangkitkan sektor riil. Komitmen tersebut kemudian tertuang dalam beberapa program antara lain; Pertama, percepatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kontribusi investasi, penambahan belanja modal, dan akselerasi pembangunan infrastruktur. Kedua, program public-private partnership (3P). program ini untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), perumahan rakyat. Ketiga, program terarah untuk pengentasan kemiskinan dengan prioritas utama pada optimalisasi alokasi paket program dengan APBN dan APBD.

Beragam proyeksi pun dikeluarkan menyongsong tahun 2007, dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (6,3%) hingga angka pengangguran (9,9%). Bahkan Presiden berani menargetkan tahun 2007 ini, pengangguran hanya terisa 5-6% dari penduduk Indonesia. Sungguh sebuah proyeksi yang terkesan hiperbolistik, meskipun sebenarnya hal ini dapat dimaklumi mengingat potensi politik dari proyeksi-proyeksi tersebut. Akan tetapi tentunya kita sangat berharap bahwa segala komitmen ini bukan hanya sebatas retorika. Pemerintah, tidak bisa tidak, harus bekerja keras dalam mewujudkan pelbagai proyeksi yang mengangkasa. Jika pemerintah terus berjanji tanpa memberi bukti, bukan tidak mungkin pasar akan kembali bergejolak. Sebagaimana premis yang diutarakan sebelumnya, pasar sangat didominasi oleh ekspektasi, dimana ketika ekspektasi tidak dapat dipenuhi maka sungguh kita akan menghadapi sebuah efek reversal yang sangat besar.

Ada beberapa solusi yang mungkin bisa dilakukan dalam rangka menjaga ekspektasi pasar ini (peningkatan kinerja sektor riil). Pertama, meningkatkan peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Hal ini tentu membutuhkan kerjasama antara pemerintah dan Bank Indonesia, sementara disatu sisi Bank Indonesia dapat melakukan pelonggaran kebijakan moneter, disisi yang lain pemerintah diharapkan bisa memberikan stimulus berupa penurunan resiko berusaha di Indonesia melalui reformasi yang menyeluruh terhadap sistem birokrasi. Kedua, meningkatkan porsi anggaran negara untuk mendorong pertumbuhan di sektor-sektor padat karya seperti pertanian dan manufaktur. Retorika tentu hanya akan berujung pada kesia-siaan, Pemerintah, tidak bisa lagi melakukan kebijakan bersifat reaksioner seperti yang sering terjadi selama ini. Kelengahan tentu tidak bisa lagi ditolerir, karena lengah berarti binasa.

No comments: