Pemerintah seakan tak pernah bosan membuat kebijakan-kebijakan yang membuat dahi berkerut. Kerutan di dahi ini sepertinya semakin bertambah banyak tatkala pemerintah mengumumkan pilar-pilar perbaikan investasi yang terdiri dari : a) Paket kebijakan iklim investasi ;b) penyelesaian high profile projects untuk memberikan snowball effect dan ;c) menekan cost of financing. Secara kasat mata memang tidak ada masalah dengan kebijakan-kebijakan tersebut, apalagi melihat dari tujuan yang hendak dicapai melalui pilar-pilar itu yang antara lain untuk menjaga pertumbuhan ekonomi serta mencapai target inflasi yang single digit pada akhir tahun 2006. Akan tetapi, apakah benar pilar-pilar yang ingin dibangun pemerintah itu sudah cukup kuat untuk menopang target-target yang ingin dicapai?
Kebijakan Yang Paradoks
Pemerintah sepertinya perlu menyewa arsitek yang lebih handal untuk membangun pilar yang dapat mendukung iklim investasi. Betapa tidak, pilar-pilar yang ingin dibangun alih-alih kuat untuk menopang investasi, pilar tersebut justru berpotensi untuk roboh dan membahayakan investasi. Tengok saja pilar kedua dan ketiga yaitu penyelesaian proyek-proyek besar swasta dan usaha pemerintah untuk menekan cost of financing, bukankah kedua pilar ini saling mempertentangkan antara satu dengan yang lain?
Untuk membiayai proyek-proyek besar swasta, maka pemerintah mau tidak mau terpaksa merogoh kocek dalam-dalam dalam bentuk peningkatan belanja pemerintah. Aktivitas belanja pemerintah itu tentunya perlu biaya yang besar. Biaya akan aktivitas tersebut kemudian dipenuhi dengan menerbitkan obligasi negara baik secara domestik dalam bentuk surat utang negara (SUN) maupun secara internasional melalui obligasi global. Ini merupakan sebuah alur pembiayaan yang sangat diminati oleh pemerintahan sekarang, setidaknya ini dapat dilihat dari emisi SUN per 14 maret yaitu senilai Rp 2,1 Triliun untuk seri FR0023 dan sekitar Rp5,1 triliun untuk seri FR0035. Tindakan pembiayaan model seperti ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat betapa mudahnya mendapatkan dana dari pasar obligasi. Mudahnya dana yang didapatkan ini dikarenakan excess demand dari obligasi negara, mengingat kecilnya resiko. Akan tetapi, permintaan yang terlalu besar terhadap SUN memiliki imbas negatif terhadap obligasi korporasi yang diterbitkan oleh pihak swasta. Betapa tidak, karena pemerintah dipaksa untuk secara langsung meminjam dari pasar kredit, maka jumlah uang yang tersedia untuk membiayai investasi swasta akan jauh lebih sedikit. Akibatnya obligasi koporasi, yang secara relatif lebih beresiko, menjadi sepi peminat. Sehingga pada akhirnya sektor riil tidak akan berjalan sebagaimana mestinya sebagai akibat dari kurangnya dana.
Jika pasar sudah jenuh, penerbitan SUN pada gilirannya akan berdampak pada suku bunga. Inward shift dari supply of loanable funds pada akhirnya meningkatkan tingkat suku bunga riil, dan pada akhirnya meningkatkan biaya untuk meminjam dan membiayai pengeluaran investasi jangka pendek. Atau dengan kata lain, agresifitas pemerintah dalam menerbitkan SUN pada tingkat kejenuhan pasar yang tinggi akan segera mendapat hukuman berupa kenaikan suku bunga. Karena suku bunga bertindak sebagai cost of fund, maka tingkat suku bunga yang tinggi akan berimplikasi pada semakin mahalnya biaya untuk melakukan ekspansi usaha (investasi). Dengan demikian, aktivitas pemerintah untuk membiayai proyek-proyek besar swasta tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap aktivitas pilar yang kedua yaitu menurunkan aktivitas cost of financing. Pembiayaan proyek besar swasta justru semakin membebani aktivitas investasi secara keseluruhan sebagai akibat tingginya cost of financing. Pertumbuhan ekonomi yang di idam-idamkan akhirnya menjadi terkendala. Sehingga sungguh tepat kiranya jika kebijakan yang demikian dinamakan kebijakan yang paradoks
Obligasi Global Yang Beresiko
Obligasi tak pelak sudah menjadi bentuk eufimisme dalam berutang. Dalam konteks obligasi global, pemerintah seakan mendapatkan mainan baru. Ada wacana dimasa mendatang, utang luar negeri pemerintah akan lebih terkonsentrasi kepada penerbitan obligasi global daripada pinjaman antar negara. Hal ini tentunya merupakan sebuah wacana yang patut kita waspadai karena sangat berpotensi untuk membahayakan Anggaran negara. Betapa tidak, peringkat obligasi pemerintah dalam mata uang asing yang saat ini pada B2 (data dari Moody’s) mengisyaratkan bahwa obligasi Indonesia masih berada dibawah tingkat kelayakan investasi (below investment grade) sehingga sangat pantas untuk dinisbatkan sebagai junk bonds. Rendahnya rating obligasi ini berimbas pada tingginya tingkat imbal hasil (yield) obligasi global Indonesia. Tingginya tingkat imbal hasil ini tentunya berkonsekuensi pada beratnya beban yang harus ditanggung oleh APBN ketika pada saatnya nanti obligasi global Indonesia jatuh tempo. Belum lagi, dengan menerbitkan obligasi global, ketika Indonesia tidak mampu melunasi utangnya maka Indonesia akan sangat sulit untuk bernegosiasi. Berangkat dari sebuah kenyataan akan semakin tersebarnya portfolio utang luar negeri Indonesia yang tidak hanya berupa pinjaman antar negara tetapi juga melingkupi investor-investor asing yang terlibat dalam pasar finansial internasional. Maka, ketika Indonesia ingin bernegosiasi, pemerintah dihadapkan pada kreditor yang sangat bervariasi mulai dari tingkat negara hingga sekumpulan institusi asing. Berbekal dari pengalaman bernegosiasi dengan para negara kreditor, permasalahan pemotongan utang luar negeri memerlukan waktu yang berlarut-larut dan belum mendapatkan kejelasan hingga kini. Apalagi ketika Indonesia dihadapkan kepada para institusi asing, yang tentunya berorientasi pada keuntungan (return on investment), maka betapa tak terbayangkan akibatnya! Negosiasi untuk memotong utang akan menjadi sangat musykil, bahkan Indonesia boleh jadi akan dituntut pailit..
Memang, obligasi global seakan menjadi produk yang teramat seksi untuk diterbitkan. Dengan tingkat imbal hasil yang berada diatas posisi normalnya, sudah barang tentu para investor yang mempunyai karakter risk taker menjadi pasar yang teramat meyakinkan. Hal ini kemudian didukung dengan fakta dilapangan bahwa permintaan akan obligasi global selalu oversubscribed dan seakan tidak pernah kehilangan pasar. Emisi obligasi global per 10 maret yang sebesar Rp US$ 2,16 miliar, sedikit banyak telah bercerita. Akan tetapi patut dicatat, tingkat imbal hasil yang berkisar 7% untuk INDO-17 dan 7,35% untuk INDO-35, merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia. Tingkat imbal hasil ini hanya pantas disejajarkan dengan negara-negara yang berada dikawasan Amerika latin seperti Brasil dan Argentina yang memang teramat rentan dan mempunyai country risk yang tinggi. Pengalaman Argentina tehadap pembiayaan defisit anggaran melalui penerebitan obligasi global kiranya sangat layak untuk dijadikan pelajaran. Biaya dari default sungguh sakit tak terperikan. Terjadinya kontraksi dari aktivitas perekonomian, tingginya angka pengangguran, merosotnya nilai tukar serta gamangnya kapabilitas fiskal pada awal tahun 2002, merupakan kejadian-kejadian yang timbul dari ketidakmampuan Argentina dalam membayar utang obligasi global. Jika pemerintah Indonesia tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin kejadian sama akan berulang di Indonesia.
Akan tetapi, sungguh patut disesalkan, pernyatan-pernyataan yang dibuat para pejabat negara, baik dari otoritas moneter maupun fiskal, masih sangat jauh dari peduli akan bahaya dari penerbitan obligasi global. Seorang pejabat bahkan pernah berseloroh “bagus kan, cadangan devisa sudah hampir US$40 miliar”. Memang, cadangan devisa kita per 10 maret 2006 meningkat menjadi US$38,86 miliar dari posisi sebelumnya yang sebesar US$36,7 miliar, tetapi harap dicatat, bahwa peningkatan cadangan devisa yang ditopang oleh penerbitan obligasi global sangat rentan adanya dan tidak kokoh pijakannya. Cadangan devisa kita yang besar lebih tepat disebut sebagai fatamorgana ketimbang kenyataan. Akhirnya, para kafilah (baca: pemerintah dan BI ) yang sebelumnya berbinar-binar, akan sangat kecewa ketika mereka menemukan bahwa mata air (baca: devisa) yang mereka saksikan dari kejauhan, tak lebih dari sebuah fatamorgana di padang pasir. Sungguh paradoks, keinginan untuk membiayai aktivitas negara, harus diakhiri dengan sebuah kisah mengenai berakhirnya sepak terjang sebuah negara.
Ketidak Sesuaian Antara Kebijakan Dan Tujuan
Ketidak sinkronan antar kebijakan sudah barang tentu berimbas terhadap kemungkinan akan tidak tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada semester I 2006 diambil kebijakan untuk menaikkan agregate demand (dengan fiscal stimulus) agar laju pertumbuhan ekonomi terjaga, karena tight monetary policy masih akan berlanjut hingga awal semester II. Sementara itu, pemerintah juga berharap agar target inflasi yang single digit dapat tercapai selama 2006. Apakah benar tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana melalui kebijakan yang dicanangkan? Ibarat sebuah bangunan rumah, jika fondasinya tidak kuat, maka rumah yang dibangun akan rentan roboh dan hancur.
Tengok saja aktivitas pemerintah untuk membiayai proyek-proyek besar swasta, memang hal ini diyakini merupakan bagian dari stimulus fiskal yang akan meningkatkan permintaan agregat, akan tetapi target inflasi yang single digit menjadi sebuah hal yang patut dipertanyakan mengingat peningkatan permintaan agregat biasanya selalu diikuti oleh peningkatan kenaikan harga-harga barang dipasar, dimana hal ini pada gilirannya akan berujung pada level inflasi yang tinggi.
Penyelesaian proyek-proyek besar yang ditangani swasta juga berpotensi membebani anggaran negara jika ditinjau dari tingginya tingkat resiko proyek. Terlebih lagi bantuan yang diberikan hanya terkonsentrasi pada beberapa pemain saja yang kebetulan memiliki modal yang besar. Apa yang akan terjadi jika proyek ini gagal? Tentunya dana pemerintah akan hangus.seperti hangusnya BLBI. Belum lagi jika melihat betapa besarnya potensi moral hazard berupa kolusi antara aparat pemerintah dengan para pemain besar itu. Sungguh tak dapat dibayangkan efeknya!
Jadi pilar-pilar kebijakan pemerintah itu merupakan sebuah kesia-siaan belaka sebab hasil akhirnya adalah: Pertumbuhan ekonomi yang mandeg (akibat tidak jalannya aktivitas sektor riil dan tidak berhasilnya snowball effect), tingkat suku bunga yang meningkat, serta inflasi yang tinggi. Maksud hati ingin memeluk gunung tapi apa daya tangan tak sampai, ingin rasanya ekonomi tumbuh bak gunung tapi apa daya kebijakan tak sampai. Sungguh, kebijakan yang aneh......
No comments:
Post a Comment