Untuk kesekian kali, Menko Perekonomian Boediono mengeluarkan paket kebijakan . Namun, terasa sangat hambar ditengah pelbagai permasalahan pelik yang mendera bangsa. Selama periodenya, sudah lima kali kebijakan ekonomi diterbitkan. Yakni paket insentif 1 oktober 2005, paket kebijakan Infrastruktur 17 februari 2006, paket kebijakan perbaikan iklim investasi 2 maret 2006, paket kebijakan sektor keuangan 5 juli 2006 dan terakhir 12 Juni 2007 bertajuk paket kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan UMKM.
Paket yang ditujukan untuk menyenangkan publik, justru membuat semakin berteriak jengah. Seperti sebelumnya, paket kebijakan tersebut hanya bagus dalam rancangan. Namun lemah dalam penerapan di lapangan. Pembenahan sektor riil memang sebuah aksi yang sangat dinanti, tetapi paket yang baru diterbitkan dirasa belum cukup taji untuk membenahi negeri.
Tak sentuh substansi
Paket teranyar dalam Inpres Nomor 6 2007 itu, meliputi kebijakan perbaikan iklim investasi yang memuat 41 langkah. Yaitu, reformasi sektor keuangan memuat 43 langkah, percepatan pembangunan infrastruktur 28 langkah, serta 29 rencana aksi terkait dengan UMKM. Keseluruhan aksi dan rencana tersebut, sepertinya tidak akan berjalan mulus. Karena hal itu dipenuhi aspek birokrasi yang menimbulkan kerumitan tersendiri saat bersentuhan dengan ranah implementasi.
Cermin kegagalan bisa dilihat dari data sepanjang tahun 2005 - 2006, paket kebijakan ekonomi
yang diharapkan sebagai pendorong utama pertumbuhan, belum memberikan hasilnya. Hingga Triwulan III tahun 2006 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 0,80% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dan kontribusinya terhadap PDB hanya sebesar 21,24%. Perlambatan pertumbuhan investasi tersebut sebenarnya telah dapat dideteksi sejak awal tahun 2006. Pada periode tersebut gejala perlambatan tidak saja tampak dari kecenderungan perkembangan pertumbuhan investasi yang melambat (investment slowdown) tetapi juga pergeseran struktur investasi (investment structure shifting). Pergeseran nampak pada investasi asing. Pada tahun 2004, pangsa investasi asing di sektor sekunder masih berkisar 60,93% sementara di sektor tersier sebesar 39,28%. Tahun 2005, kondisi tersebut berbalik di mana pangsa investasi asing di sektor sekunder turun menjadi 39,38% sementara di sektor tersier naik menjadi 56,14%. Kelemahan dan kegagalan paket kebijakan tersebut tak pelak merupakan buah dari buruknya realisasi di lapangan yang timbul seperti mata rantai, atas program birokrasi yang berbelit serta menyusahkan.
Kerumitan birokrasi dapat terlihat rendahnya realisasi penyerapan anggaran. Realisasi dua bulan pertama tahun 2007 baru mencapai Rp1,3 T, lebih rendah dibanding realisasi periode yang sama tahun 2006 yang mencapai Rp1,7 T. Sehingga, tidak sulit untuk membayangkan jika program yang sifatnya rutin saja masih terkendala jalannya apalagi program yang belum jelas arahnya.
Apa yang terjadi pada sektor riil?
Stabilitas makroekonomi yang tercapai belum diikuti dengan perbaikan signifikan di sektor riil. Hal itu mengindisikan bahwa terdapat mekanisme yang tidak bekerja dengan maksimal untuk mentransformasi stabilitas makroekonomi kepada perbaikan sektor riil. Ada tiga alasan terkait dengan kondisi tersebut, pertama: adanya time lag untuk penyesuaian dari stabilitas makroekonomi menuju perbaikan sektor riil. Kedua; adanya hubungan yang saling terpisah bukan saling melengkapi antara sektor keuangan dan sektor riil. Kondisi tersebut sangat nampak pada gagalnya peran perbankan menjadi sumber pendanaan investasi sektor riil. Dana perbankan justru di parkir di SBI. Ketiga, orientasi kebijakan pemerintah fokus pada upaya stabilitas finansial. Sektor industri pada tahun 2006 kembali ke titik yang sangat memprihatinkan. Setelah mampu tumbuh 7,5% (tahun 2004), dan 5,85% (tahun 2005), pada tahun 2006 hanya tumbuh 4,8%. Meskipun pada triwulan I 2007 sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 5,67%, akan tetapi pertumbuhan ini melambat dibanding dengan 2 triwulan sebelumnya.
Dengan demikian hal itu hampir terjadi di semua sektor industri termasuk makanan, minuman dan tembakau; tekstil, barang kulit dan alas kaki; barang kayu dan hasil hutan; kertas dan barang cetakan; semen dan barang galian; dan industri lainnya mengalami pertumbuhan negatif.
Kondisi itu diikuti dengan pertumbuhan yang rendah, sehingga tidak bisa diharapkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta menyerap tenaga kerja.
Kemerosotan pertumbuhan juga terlihat dengan semakin melemahnya peringkat daya saing Indonesia di dunia berdasarkan laporan World Competitiveness Yearbook. Pada tahun 2006 kita hanya menduduki peringkat 60 kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia (23), Thailand (32), Filipina (49) dan India (29).
Pelambatan pertumbuhan sektor industri tersebut terjadi sejak kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 yang memberikan beban cukup berat bagi ongkos produksi.
Penyebab merosotnya pertumbuhan sektor industri adalah, pertama rendahnya investasi yang menggerakan sektor industri pengolahan sehingga tidak terjadi ekspansi usaha atau pembukaan usaha baru. Kedua, daya saing masih rendah terkait dengan persoalan iklim usaha, birokrasi, dan infrastruktur serta aturan ketenagakerjaan. Ketiga, beban ongkos produksi karena kenaikan BBM 2005. Keempat, ketidakjelasan kebijakan pengembangan industri.
Di sisi lain sektor industri menemui masalah klasik yang sangat serius, yaitu masalah ketersediaan bahan
Awan gelap di 2007
Selama paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan belum mampu mengkonversikan investasi jangka pendek yang mendominasi pasar Indonesia menjadi foreign direct investment. Maka jangan harap kecemerlangan sektor finansial akan menular kepada sektor riil. Celakanya data tahun 2007 menjadikan perjuangan untuk perbaikan sektor riil menjadi bertambah berat. Proyeksi perbaikan dibayangi ketidakjelasan, pertumbuhan sektor konsumsi pada kwartal pertama tahun 2007 lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan konsumsi adalah 4,78% sementara pertumbuhan ekonomi mencapai besaran 5,38%. Hal ini tentunya menyisakan masalah di masa mendatang, karena perbandingan data ini mengindikasikan belum pulihnya tingkat kepercayaan masyarakat. Tampak jelas bahwa tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah, menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Masyarakat lebih suka untuk menginvestasikan dana ke sektor jasa keuangan yang memberikan yield yang tinggi dibandingkan untuk berinvestasi ke sektor riil.
Kenyatan pilu tersebut kemudian diperparah dengan proyeksi mengerikan dari Gubernur Bank Sentral AS Alan Grenspan yang memperkirakan arus balik banjir likuiditas dari pasar negara-negara berkembang. Sungguh, hal itu jelas tidak bisa ditangkal melalui paket yang mempunyai time frame jangka panjang sementara potensi reversal memiliki time frame jangka pendek. Mismatch tersebut pada gilirannya menyebabkan sebuah ironi kebijakan. Sehingga tepat kiranya apabila paket kebijakan ekonomi tersebut ditasbihkan sebagai paket minim makna.
No comments:
Post a Comment