Belum lekang dari ingatan kita tatkala pemerintah melakukan tindakan absurd untuk menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 126%, belum kering kiranya goresan luka yang timbul akibat antrean bantuan langsung tunai yang tidak manusawi itu, belum pulih kiranya sakit asma yang diderita oleh para pengusaha karena biaya produksi yang merangkak naik. Pemerintah, melalui RUU pajak, kembali melakukan tindakan yang dapat menohok perekonomian hingga sulit bernafas.
Sejatinya salah satu fungsi pajak merupakan komponen penyeimbang (stabilizer) dalam perekonomian. Tatkala perekonomian sedang tumbuh, maka pajak berfungsi untuk menjaga agar pertumbuhan itu tetap terkendali dan tidak terlalu panas (overheating). Akan tetapi, adagium tersebut akan menjadi bentuk keniscayaan yang sangat aneh ketika kenaikan pajak diterapkan ketika perekonomian sedang dalam kondisi yang terpuruk. Jika memang tujuan pemerintah untuk menaikkan penerimaan dari sektor pajak adalah dalam rangka menunjang dan menyehatkan kapasitas fiskal, tindakan ekstensifikasi fiskal yang cenderung brutal ini justru akan menambah parah kondisi fiskal di masa mendatang.
Analogi Seorang Pedagang
Untuk lebih mudahnya, saya akan menceritakan sebuah kisah. Alkisah pada suatu masa ada seorang pedagang buah. Pedagang ini, karena menginginkan keuntungan yang besar, menerapkan sebuah harga yang sangat tinggi untuk buah-buahnya. Di hari pertama pedagang itu berjualan keuntungan besar memang menjadi sebuah keniscayaan yang hakiki. Akan tetapi di kemudian hari, alih-alih dapat untung, pedagang tersebut malah merugi tak terperikan. Hal ini diakibatkan para konsumen buah bersikap rasional dengan membeli buah dari para pedagang lain yang menawarkan harga yang jauh lebih murah.
Kisah tersebut kiranya bisa menjadi pelajaran untuk kita, sebuah kejadian serupa tapi tak sama akan terjadi apabila pemerintah terus memaksakan RUU pajak ini untuk diterapkan. Akan banyak investor yang melarikan dananya ke luar negeri (capital outflow) apabila RUU pajak yang baru meloloskan peningkatan kewenangan absolut para aparat pajak Kewenangan dengan sanksi yang sedemikian rupa dan kualitas aparat yang sekenanya akan menyebabkan economic cost administrasi pajak yang ditanggung masyarakat akan sangat mahal.
Dengan digenjotnya sektor pajak secara brutal ini pada gilirannya juga akan menyebabkan jumlah pembayar pajak akan berkurang, baik karena bangkrut ataupun lari ke luar negeri. Kebangkrutan besar-besaran akan terjadi karena para pembayar pajak dihantam berbagai macam biaya yang terus menghujam yang dimulai dari kenaikan harga BBM yang sangat tinggi. Kondisi ini jelas akan menambah panjang antrean kompensasi BBM (baca: orang miskin).
Kontroversi Jumlah Wajib Pajak
Keanehan demi keanehan pun terus terjadi. Kenaikan secara signifikan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta orang hingga mencapai besaran yang fantastis yaitu 10 juta orang tak pelak lagi menjadi sebuah bentuk kontoversi yang baru. Kontroversial karena merupakan sebuah kemusykilan menaikkan jumlah wajib pajak yang cukup signifikan dalam waktu yang relatif sangat cepat, kontroversial karena hal ini akan menumbuh suburkan KKN model baru. Betapa tidak, NPWP boleh jadi akan menjadi proyek baru bagi para aparat pajak. Seorang wajib pajak akan dengan mudahnya meminta penghapusan NPWP mereka kepada aparat pajak dengan mengiming-imingkan besaran kompensasi tertentu. KKN ini sangat mungkin terjadi karena masih terdapat black box pada sistem pencacahan wajib pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Apatah lagi, dengan bergerak pada kerangka ekspektasi rasional, lembaga DJP ini sudah terbukti merupakan sarang penyamun. Dari survey yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia akhir 2004 yang lalu, DJP dinobatkan sebagai lembaga terkorup kedua setelah Bea dan Cukai.
Kebrutalan DJP dalam melakukan ekstensifikasi wajib pajak pun telah banyak memakan korban. Pengalaman seorang kolega saya kiranya layak untuk dijadikan sebuah contoh dari ketidak jelasan sistem yang dibangun DJP. Ayahnya seorang pensiunan PNS yang telah meninggal beberapa tahun lalu dikirimi NPWP oleh kantor pajak. Absurditas ini alih-alih mendorong DJP untuk melakukan evaluasi atas sistemnya malahan sibuk membela diri atas banyaknya pelanggaran aparatnya dengan pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal seperti ”DJP telah transparan, bagaimana dengan pengusaha”. Sungguh DJP telah memakai sebuah kacamata kuda! Tepat kirannya pendapat Faisal Basri belum lama ini, bahwa hal yang aneh ini merupakan fantasi Ditjen Pajak.
RUU Perpajakan Penuh Kontroversi
Badai kontroversi masih berlanjut, RUU pajak tak pelak lagi menjadi sumber dari kontroversi itu. Banyak pasal-pasal yang termaktub dalam RUU tersebut yang harus kita cermati bahkan ditinjau ulang. Tengok saja pasal 38 RUU KUP (KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN), menurut pasal ini jika wajib pajak melakukan kealpaan yang dapat merugikan negara, maka wajib pajak tersebut dapat dikenakan hukuman berupa denda atau kurungan penjara. Ketentuan ini jelas sangat tidak tepat, alasannya masyarakat Indonesia tidak terbiasa mencatat pengeluaran sehari-hari sehingga mungkin informasi biaya hidup yang disampaikan tidak akurat dan dapat diinterpretasikan sebagai kealpaan Sangat tidak bisa dibayangkan betapa penuhnya sel-sel penjara oleh para wajib pajak jika pasal ini diterapkan.
Masih dalam RUU KUP, pada pasal 44 ayat 2 huruf k disebutkan bahwa penyidik dapat meminta pada bank atau lembaga keuangan lain untuk memblokir rekening dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindakan pidana di bidang perpajakan. Jelas hal ini dapat menimbulkan moral hazard karena penyidik dapat memblokir rekening berdasarkan dugaan pribadi semata. Kolusi antar aparat pajak dengan wajib pajak akan semakin menjadi kebudayaan yang membumi.
Pasal 30 RUU KUP juga patut mendapat perhatian khusus, penggunaan istilah patut diduga sebagai dasar tindakan penyegelan merupakan wilayah abu-abu yang dapat menimbulkan penerapan peraturan secara semena- mena di lapangan. Masalah yang lebih serius adalah penyegelan atas data elektronik dapat mengakibatkan penghentian kegiatan operasi wajib pajak.
Segi kepraktisan dalam RUU KUP ini juga patut dipertanyakan. Saat ini wajib pajak
yang menjalankan usaha bisa diperiksa berkali-kali, hal ini tentu mengganggu iklim usaha dan terlalu banyak tenaga yang dikeluarkan untuk melayani pemeriksaan pajak. Dalam setiap pemeriksaan, wajib pajak harus mengeluarkan semua buku dan catatan yang diminta petugas pajak. Dalam RUU itu, seharusnya diatur ketentuan mengenai pemeriksaan pajak yang menyeluruh (all taxes audit system) yang menyangkut semua obyek pajak, baik pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai maupun objek pajak yang lain, sehingga wajib pajak tidak perlu diperiksa berkali-kali dalam satu tahun atau masa tertentu.
Bagaimana dengan aspek keadilan dalam RUU pajak ini, apakah RUU ini telah memberikan perlakuan yang adil terhadap fiskus dan wajib pajak? Saya rasa belum! Coba saja kita cermati pasal 36 A RUU KUP, pasal ini menyebutkan bahwa jika petugas pajak dalam melaksanakn tugasnya tidak sesuai dengan UU perpajakan yang berlaku hingga merugikan negara, maka petugas pajak dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan. Sementara itu masih pada pasal yang sama disebutkan bahwa petugas pajak yang dengan sengaja menyalahgunakan wewenang dan atau melanggar hak wajib pajak, maka petugas pajak tersebut dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan. Jadi, jika pegawai pajak merugikan negara dipidana, tetapi jika dengan sengaja menyalahgunakan wewenang hingga merugikan wajib pajak maka petugas pajak yang bersangkutan “hanya” diadukan ke Depkeu, dimana keadilannya bung?
RUU PPh pun setali tiga uang dengan “ rekan sejawatnya” yaitu RUU KUP. Coba kita lihat pasal 21 ayat 5a. Wajib pajak, termasuk karyawan yang tidak mempunyai NPWP akan dikenakan potongan pajak 20% lebih tinggi dari tarif normal. Sebagai contoh, jika bapak A memiliki penghasilan kena pajak sebesar 2 juta dan bapak A memilki NPWP, maka bapak A tersebut akan dikenakan PPh 21 sebesar 5%, akan tetapi apabila bapak A tidak mempunyai NPWP, maka dikenakan PPh 21 sebesar 25%. Seharusnya pasal ini dibatalkan saja, karena ini akan menghambat investor-investor asing untuk masuk ke Indonesia. Alasannya adalah kemungkinan perusahan yang pada akhirnya harus menanggung beban tambahan pajak 20% ini karena sulit untuk memaksakan buruh-buruh pabrik untuk memiliki NPWP. Hal ini kiranya cukup rasional untuk dijadikan alasan, sebab sebagian besar buruh di Indonesia tidak mengerti mengenai peraturan perpajakan dan bagaimana cara pengisisan SPT Tahunan apabila mempunyai NPWP, karena banyak dari mereka yang tidak berpendidikan tinggi.
Perlu Ditinjau Ulang
Premis-premis yang telah saya sampaikan diatas mengarah pada sebuah kemestian untuk melakukan peninjauan ulang atas beberapa kebijakan perpajakan terkhusus pada RUU pajak. Adalah sebuah kemusykilan untuk memaksakan RUU pajak ini ditengah kondisi ekonomi yang sedang galau dan terpuruk. Meski berbagai fakta yang terjadi di lapangan cenderung menyudutkan DJP, akan tetapi adalah hal yang sangat tidak adil bila kita menjadikan DJP menjadi lembaga yang melulu dipersalahkan. Seluruh stakeholder dalam perpajakan ini yaitu pemerintah, DPR, kelompok kepentingan, dunia usaha dan masyarakat sipil harus duduk bersama dan saling mengintrospeksi diri untuk mendapatkan win-win solution (kondisi pareto optimum). Idenya adalah bagaimana membuat seseorang lebih baik (better of) tanpa membuat yang lain merugi (worse of). Alangkah bijaknya jika pihak-pihak yang berkepentingan tersebut mengedepankan pembahasan yang lebih rasional ketimbang emosional.
No comments:
Post a Comment