Sungguh publik dibuat tercengang oleh berita mengemparkan yang dirilis oleh Emerging Market Forum dan majalah Euromoney. Betapa tidak, sebuah penghargaan yang boleh jadi membuat kening berkerut bak petir di siang bolong tiba-tiba dihadiahkan kepada Sri Mulyani. Jika Emerging Market Forum memberikan penghargaan kepada Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan terbaik di Asia atau The Best Finance Minister in Asia dalam waktu yang bersamaan, majalah Euromoney juga menganugerahinya sebagai Menteri Keuangan terbaik di dunia atau The Finance Minister of The Year in The World. Konon katanya, penghargaan ini diberikan karena Sri Mulyani dinilai berhasil melakukan tugasnya dalam meletakkan secara baik kebijakan ekonomi untuk jangka panjang ditengah instabilitas politik di Indonesia, akan tetapi benarkah demikian? Atau jangan-jangan, penghargaan ini hanya merupakan skenario politis IMF dan Bank Dunia untuk menyelamatkan menterinya dari ancaman reshuffle kabinet jilid II.
Fakta Berbicara
Data menunjukkan bahwa kinerja Perekonomian Indonesia sesungguhnya belum layak untuk diberikan penghargaan dalam bentuk apapun. Tengok saja data jumlah orang miskin di Indonesia, per maret 2006 jumlah orang miskin telah menjapai 39,05 juta orang atau 17,75% dari keseluruhan populasi rakyat indonesia. Data pengangguran pun sepertinya setali tiga uang, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Februari 2006 telah mencapai 10,4% yang berarti masih lebih tinggi dibanding keadaan bulan Februari tahun 2005 yang sebesr 10,3%. Sementara itu, cadangan devisa kita yang terus merangkak naik yang didorong oleh surplus pada neraca transaksi berjalan memasuki semester II 2006, belum berarti telah terjadi peningkatan kinerja ekspor yang baik. Realisasi surplus transaksi berjalan yang diperkirakan sebesar US$ 1.971 juta lebih dikarenakan meningkatnya harga di pasaran internasional pada barang-barang migas ketimbang peningkatan volume ekspor itu. Terjadinya surplus ini juga didukung oleh terjadinya penurunan atas barang-barang impor sebagai akibat belum pulihnya permintaan domestik.
Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, data sepanjang tahun 2004 hingga semester pertama tahun 2006 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung ditopang oleh sektor konsumsi ketimbang investasi. Sementara pertumbuhan sektor investasi mengalami trend penurunan yaitu 14,6% ditahun 2004, 2,9% ditahun 2005 dan -0,1% pada semester pertama tahun 2006, pertumbuhan sektor konsumsi justru mengalami peningkatan, yaitu dari 9% ditahun 2004, 12,1% ditahun 2005 dan 25% pada tahun 2006. Pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh konsumsi tentunya merupakan rintangan untuk mengentaskan kemiskinan.
Kebijakan Salah Sasaran
Dalam hal upaya untuk menstabilkan perekonomian, Sri Mulyani dkk tampaknya juga belum awas terhadap realita yang ada. Stabilitas Ekonomi tidak cukup diwujudkan melalui peningkatan kepercayaan pasar melalui masuknya investasi portfolio yang didominasi oleh dana jangka pendek. Stabilitas ekonomi menjadi sebuah hal yang dapat dicapai tatkala pemerintah juga berpihak kepada sektor riil sehingga dapat menciptakan fondasi ekonomi yang kuat dalam mengatasi segala gejolak yang ada.
Seperti kita ketahui bersama, kinerja sektor riil tidak secemerlang sektor finansial. Sementara sektor finansial sedang berada dalam masa keemasannya, sektor riil justru semakin terpuruk. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan sektor industri pengolahan non-migas berturut-turut hanya mencapai 7,9% dan 5,9% yang berarti masih dibawah target yang rata-rata sebesar 8,56% pertahun. Dan yang cukup mengkhawatirkan adalah terjadinya trend perlambatan pertumbuhan. Sementara itu dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2004 sektor industri pengolahan hanya menyerap 156 ribu orang pertahun, yang berarti juga masih dibawah target yang sebesar rata-rata 528 ribu orang pertahun. Industri tekstil misalnya, industri ini mengalami trend penurunan yang cukup signifikan sebagai akibat dari tingginya biaya energi, harga jual garmen yang turun 5-10% sementara biaya operasional naik 10% setiap tahunnya dan banyak perusahaan tidak mampu memanfaatkan peluang pasar internasional karena kekurangan modal kerja. Industri elektronika merupakan contoh yang lain, industri ini tenggelam sebagi akibat penurunan daya beli masyarakat dan kurangnya daya saing produk elektronika dalam negeri.
Dalam hal alokasi belanja negara, kita tentunya dapat melihat bahwa alokasi anggaran belum menunjukkan komitmen Pemerintah dalam hal menuju sebuah konsep pro-poor budgeting. Sektor-sektor seperti pertanian, dan kelautan yang didominasi oleh masyarakat miskin belum mendapat alokasi dana yang memadai. Keberpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan juga patut dipertanyakan mengingat alokasi anggarannya masih jauh dari memadai.
Sementara itu, alokasi belanja modal yang relatif terbatas merupakan sebuah ironi ditengah komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Coba tengok, porsi belanja modal pada APBN Perubahan tahun anggaran 2006 hanya sebesar Rp 68 triliun. Dada ini terasa semakin sesak ketika angka ini dibandingkan dengan porsi pembayaran bunga utang yang sebesar Rp 82 triliun.
Jika saja Menteri Keuangan mau meningkatkan porsi belanja modal, maka bisa dipastikan akan terjadi peningkatan investasi. Dan dengan investasi yang meningkat, maka angka pengangguran juga punya potensi menurun. Turunnya angka pengangguran pada gilirannya akan memberikan kontribusi terhadap berkurangnya angka kemiskinan. Kebijakan pembiayaan juga tak kalah kacaunya, penarikan jumlah utang luar negeri yang masif dalam rangka menutup defisit anggaran hanya akan meningkatkan stok utang luar negeri yang artinya membahayakan kondisi fiskal negara. Kondisi neraca pembayaran juga bisa dipastikan akan terpengaruh karena adanya resource drain berupa pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri. Adanya resource drain ini dapat dilihat dari Rp 79 triliun yang terbang keluar negeri pada tahun anggaran 2006 sebagai besaran pembayaran bunga dan cicilan pokok. Hal ini juga berarti bahwa 22,8% uang masyarakat dalam bentuk PPh dan PPN sebesar Rp 346 triliun yang dipungut pada APBN Perubahan tahun anggaran 2006, habis untuk membayar utang luar negeri. Yang jelas, setiap penambahan utang hanya akan menyebabkan terjadinya penambahan jumlah uang primer, yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya efek inflatoir yang cukup signifikan. Tentunya, hal ini pada akhirnya akan mencederai target-target yang ditetapkan sebelumnya. Kebijakan ekonomi makro tentunya harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dan mengurangi jumlah penduduk miskin dengan mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta meningkatkan kualitas institusi.
Alasan Politis
No comments:
Post a Comment