Sungguh publik dibuat tercengang oleh rekor-rekor baru yang tak henti-hentinya mengguncang jagad pasar modal
Pantaskah kita menepuk dada dan tertawa-tawa? Jika memang indikator ini memang didukung oleh underlying policy yang mumpuni, maka kegembiraan itu menjadi suatu hal yang teramat lumrah. Akan tetapi pada kenyataannya, indikator-indikator finansial yang memukau dan mengangkasa tidak diikuti dengan perangkat kebijakan yang menunjang. Sehingga pantas saja Bank Indonesia (BI) mengambil langkah prudent dengan tetap mempertahankan kebijakan monter cenderung ketat (tight bias).
Sebenarnya permainan ini terpaksa dilakukan mengingat meningkatnya harga minyak dunia dan kenaikan suku bunga internasional dalam tahun 2005 memberi tekanan pada stabilitas moneter di dalam negeri sejak triwulan II/2005. Pada gilirannya kurs rupiah sempat melemah tajam hingga menyentuh Rp 12.000,- per USD pada perdagangan harian menjelang akhir Agustus 2005. Sehingga BI menempuh berbagai rangkaian tindakan penyelamatan yang dimulai pada tanggal 30 Agustus 2005 dengan suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan sebesar 75 bps menjadi 9,5 persen. Pada bulan September dan Oktober 2005, suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan lagi menjadi 10,0 persen dan 11,0 persen. Selanjutnya untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dengan tingginya laju inflasi bulan Oktober 2005, BI rate dinaikkan lagi pada awal November 2005 dan awal Desember 2005 masing-masing sebesar 125 bps dan 50 bps menjadi 12,25 persen dan 12,75 persen. Kenaikan BI rate juga diikuti oleh kenaikan suku bunga penjaminan dan suku bunga dalam dolar AS. Secara keseluruhan rata-rata kurs rupiah pada tahun 2005 mencapai Rp 9.705,- per USD, melemah 8,6 persen dibandingkan tahun 2004.
Akan tetapi kini, ditengah-tengah kinerja sektor finansial yang sudah membaik bahkan membumbung tinggi bak roket, kebijakan moneter tetap berada pada level yang cenderung ketat. Sehingga, kita patut bertanya, ada apakah gerangan?
Keengganan BI untuk merubah kebijakannya sebenarnya bisa dimaklumi. Betapa tidak, modal asing yang bergulir di Indonesia masih didominasi oleh dana jangka pendek, sehingga bila selisih antara suku bunga dolar dengan rupiah kembali anjlok maka proses pembalikan modal akan terjadi dan efeknya sungguh sakit tak terperikan. Sejarah telah membuktikan, krisis moneter 1997 tidak terlepas dari kesenjangan tingkat suku bunga yang memancing utang-utang jangka pendek mengalir ke negeri ini.
Sinyal Moneter
Akan tetapi, jika BI tidak segera mengevaluasi kebijakannya maka pasar akan bingung membaca sinyal moneter yang dipancarkan oleh BI. Sebab rupiah sudah menguat dan inflasi sudah turun. Coba tengok, nilai rupiah telah mencapai level 8.800-an, sementara itu menurut Badan Pusat Statistik (BPS), infasi pada maret 2006 sebesar 0.03%. Sementara inflasi tahun kalender berjalan (Januari-Maret 2006) mencapai 1,98% dan laju inflasi year on year (Maret 2005- Maret 2006) mencapai 15,74% yang berada dibawah posisi inflasi tahun 2005.
Meskipun pada tanggal 9 mei 2006 Rapat Dewan Gubernur telah memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps yaitu dari sebesar 12,75% menjadi sebesar 12,5%, suku bunga masih berada pada level yang cukup tinggi. Suku bunga yang demikian tinggi ini tentunya akan memperlambat proses pertumbuhan ekonomi karena masyarakat yang punya dana besar lebih suka menyimpan dananya di deposito dengan bunga 8-10%, daripada harus bersusah payah berinvestasi di sektor usaha. BI rate yang terlalu tinggi ini juga pada gilirannya akan menciptakan sebuah ekses likuiditas dalam perbankan, sehingga jika tidak segera diambil jalan keluarnya, hal ini akan menimbulkan biaya moneter yang tinggi. Biaya ini timbul selain karena tidak berjalannya fungsi intermediasi perbankan juga dipicu oleh besarnya biaya bunga yang harus dibayar BI sebagai akibat banyaknya dana perbankan yang parkir di SBI.
BI rate yang culup tinggi dewasa ini, baik disadari maupun tidak, telah menciptakan sebuah efek kecanduan. Ibarat nikotin dalam rokok, semakin tinggi maka semakin berbahaya bagi kesehatan, semakin sering rokok dihisap niscaya semakin susah untuk berhenti. Demikian juga BI rate, sebagai akibat terlalu sering menaikkan levelnya, semakin susah pula untuk menurunkan atau bahkan menghentikan kebiasaan itu. Ini menciptakan fatamorgana ekonomi, karena kinerja bursa serta indikator finansial lainnya tidak ditunjang oleh kinerja para emiten yang notabene adalah motor penggerak utama bagi kinerja sektor riil.
Nasib Sektor Riil
Dalam suatu kesempatan, Gubernur BI Burhanudin Abdullah sempat berseloroh” Indonesia ibarat sebuah jumbo jet yang ditopang oleh dua engine, engine yang pertama yaitu sektor finansial sementara yang kedua adalah sektor riil”. Seperti kita ketahui bersama, kinerja sektor riil tidak secemerlang saudaranya yaitu sektor finansial. Sementara sektor finansial sedang berada dalam masa keemasannya, sektor riil justru semakin terpuruk. Coba saja kita lihat, pada tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan sektor industri pengolahan non-migas berturut-turut hanya mencapai 7,9% dan 5,9% yang berarti masih dibawah target yang rata-rata sebesar 8,56% pertahun. Dan yang cukup mengkahwatirkan adalah terjadinya trend perlambatan pertumbuhan. Sementara itu dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2004 sektor industri pengolahan hanya menyerap 13 ribu orang, yang berarti juga masih dibawah target yang sebesar rata-rata 528 ribu orang pertahun. Industri tekstil misalnya, industri ini mengalami trend penurunan yang cukup signifikan sebagai akibat dari tingginya biaya energi, harga jual garmen yang turun 5-10% sementara biaya operasional naik 10% setiap tahunnya dan banyak perusahaan tidak mampu memanfaatkan peluang pasar internasional karena kekurangan modal kerja. Industri elektronika merupakan contoh yang lain, industri ini tenggelam sebagi akibat penurunan daya beli masyarakat dan kurangnya daya saing produk elektronika dalam negeri.
Timpangnya kinerja sektor riil dan finansial celakanya tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Para pilot (baca: pembuat kebijakan) sudah terlalu yakin bahwa jumbo jet ini bisa melaju hanya dengan satu mesin (sektor finansial). Mereka seakan sungkan untuk berkaca pada pengalaman masa lalu bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia pada awal tahun1998, terjadi akibat terlalu mengandalkan sektor finansial.
Pemerintah Harus Berperan
Ketakutan BI untuk mengevaluasi kebijakannya dari ketat ke longgar ditenggarai karena tidak siapnya sarana dan prasarana yang ada. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari iklim investasi yang kurang kondusif, setidaknya hingga tahun 2005, karena pertumbuhan investasi mengalami perlambatan dari 14,68% tahun 2004 menjadi 9,93% tahun 2005. Celakanya, tantangan tersebut tidak hanya berkaitan dengan proses penyesuaian pelaku ekonomi terhadap tingginya inflasi, depresiasi nilai tukar rupiah dan ketersediaan sumber pembiayaan, namun juga berhubungan dengan beberapa kendala struktural yang berkaitan dengan iklim investasi yang kondusif. Terdapat empat kendala utama yang dianggap menghambat iklim investasi yang kondusif yatu inefisiensi birokrasi, regulasi ketenagakerjaan dan kepailitan yang kurang menunjang, kurangnya insentif pajak, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung investasi. Rendahnya investasi baru juga disebabkan oleh belum tuntasnya produk hukum (RUU Investasi) yang baru, ekonomi biaya tinggi (banyaknya pungutan liar), birokrasi yang panjang, terbatasnya pengeluaran pemerintah dalam menstimulus perekonomian serta terbatasnya pembiayaan perbankan. Di sinilah seharusnya pemerintah harus berperan. Pemerintah sudah sepatutnya mengkonversikan investasi jangka pendek yang mendominasi pasar Indonesia menjadi foreign direct investment. Sementara hal itu belum dilakukan, maka jangan harap kecemerlangan sektor finansial akan menular kepada sektor riil. Sungguh kita belum patut untuk berbangga!
No comments:
Post a Comment