Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan pokok pembangunan nasional, sehingga tidak heran bahwa pencapaian target pertumbuhan ekonomi seringkali dijadikan sebuah ukuran untuk menilai kinerja pemerintah. Jika saja premis ini benar maka tahun 2007 akan menjadi sebuah tahun yang memungkinkan pemerintah untuk memanen pujian dari khalayak. Betapa tidak, sepanjang tahun 2007, suku bunga Bank Sentral AS berpeluang untuk turun menjadi 4,25%. Tren ini tentunya akan membuat ekonomi Indonesia lebih prospektif untuk mengejar pertumbuhan di atas 6%. Akan tetapi, tujuan pembangunan nasional tentunya tidak melulu tertuju pada pertumbuhan ekonomi semata. Pembangunan nasional akan segera tercapai jika terjadi pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan pemerataan di sisi yang lain. Ekonomi memang sedang bertumbuh akan tetapi pemerataan belum sepenuhnya terjadi sehingga pemerintah belum layak untuk dipuji.
Kinerja Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan kinerja pokok perekonomian suatu negara sementara pemerataan mengacu pada pemerataan kesempatan kerja dan berusaha, dengan kata lain pemerataan akan terjadi bila masalah pengangguran teratasi dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan Indonesia adalah pertumbuhan yang berkualitas dimana pertumbuhan yang terjadi memiliki sensitifitas terhadap pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Tetapi sayangnya, faktor sensitifitas inilah yang tidak terekam dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal ini tentunya tidak lepas dari lemahnya landasan fundamental perekonomian Indonesia pada beberapa tahun ke belakang.. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya angka pengganda uang yang dicapai oleh lembaga keuangan di Indonesia. Fakta ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan jumlah uang primer tidak dibarengi dengan pertumbuhan jumlah uang beredar pada level yang sama. Dengan kata lain, lembaga keuangan di Indonesia gagal dalam menyalurkan dana yang dimilikinya ke sektor riil (sektor produksi). Seperti kita ketahui bersama, kinerja sektor riil tidak secemerlang saudaranya yaitu sektor finansial. Sementara sektor finansial sedang berada dalam masa keemasannya, sektor riil justru semakin terpuruk. Coba saja kita lihat, pada tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan sektor industri pengolahan non-migas berturut-turut hanya mencapai 7,9% dan 5,9% yang berarti masih dibawah target yang rata-rata sebesar 8,56% pertahun. Dan yang cukup mengkahwatirkan adalah terjadinya trend perlambatan pertumbuhan. Sementara itu dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2004 sektor industri pengolahan hanya menyerap 13 ribu orang, yang berarti juga masih dibawah target yang sebesar rata-rata 528 ribu orang pertahun. Permasalahan ini ditenggarai terjadi karena iklim investasi yang tak menentu yang menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar. Tingginya biaya produksi di sektor ini juga merupakan faktor lain, karena besarnya biaya “siluman” akibat ekonomi biaya tinggi. Industri tekstil misalnya, industri ini mengalami trend penurunan yang cukup signifikan sebagai akibat dari tingginya biaya energi, harga jual garmen yang turun 5-10% sementara biaya operasional naik 10% setiap tahunnya dan banyak perusahaan tidak mampu memanfaatkan peluang pasar internasional karena kekurangan modal kerja. Industri elektronika merupakan contoh yang lain, industri ini tenggelam sebagi akibat penurunan daya beli masyarakat dan kurangnya daya saing produk elektronika dalam negeri.
Paradoks Pertumbuhan
Sejatinya, jika perekonomian mengalami pertumbuhan, maka penyerapan atau permintaan tenaga kerja akan meningkat. Akan tetapi sungguh patut disayangkan, kondisi di Indonesia menunjukkan sebaliknya dimana perekonomian mengalami pertumbuhan namun pengangguran tetap persistem atau sulit untuk turun. Kecenderungan ke arah munculnya paradoks tersebut telah mulai tampak dalam empat tahun terakhir dimana pertumbuhan ekonomi meningkat dari 3,7% (2002), menjadi 4,1% (2003), 5,1% (2004) dan akhirnya 5,6% (2004). Namun di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka juga meningkat dari 9,1%, 10,1% mejadi 10,3% dan akhirnya 11,9% pada periode yang sama.
Paradoks ini ditenggarai terjadi akibat adanya kendala struktural, seperti perbedaan sektoral yang tajam, dimana sektor yang bersifat padat modal mengalami pertumbuhan sedangkan sektor-sektor yang bersifat padat karya mengalami stagnasi. Sektor pertanian misalnya, sektor yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 44% dalam penyerapan tenaga kerja dalam lima tahun terakhir hanya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing hanya sebesar 0,64% pada tahun 2001, 0,51% pada tahun 2002, 0,49% pada tahun 2003, 0,50% pada tahun 2004 dan 0,37% pada tahun 2005. Sementara sektor-sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja lebih sedikit, kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar. Tengok saja sektor perdagangan yang menyerap tenaga kerja rata-rata hanya sebesar 19% dalam lima tahun terakhir, sektor Industri yang sebesar 12% dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 5% masing-masing memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi terbesar pada tahun 2005 masing-masing sebesar 1,41%, 1,31% dan 0,76%.
Pengangguran di Indonesia
Masalah pengangguran di Indonesia tak pelak merupakan suatu permasalahan yang disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi Indonesia dalam menyerap tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi belum mampu menjawab pelbagai permasalahan ketenagakerjaan sehingga penentuan arah kebijakan masih menjadi dilema yang mendasar. Pertumbuhan ekonomi dalam menyerap tenaga kerja menunjukkan tren penurunan. Pada tahun 1994, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap hingga 400 ribu tenaga kerja, namun pada tahun 2004, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap tenaga kerja kurang dari 200 ribu jiwa. Bahkan untuk tahun 2006, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap tenaga kerja tidak lebih dari 50 ribu jiwa. Penurunan elastisitas penyerapan tenaga kerja dan peningkatan angkatan kerja baru telah mengakibatkan semakin meningkatnya pengangguran terbuka di Indonesia. Apabila dikaitkan dengan kondisi makro moneter Indonesia, peristiwa-peristiwa sebagaimana yang telah terurai sebelumnya berkaitan dengan perkembangan fundamental perekonomian Indonesia. Sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada Juli 1997, kondisi ekonomi Indonesia masih menyisakan bekas yang belum pulih sampai sekarang. Rawannya fundamental ekonomi Indonesia lebih dikarenakan oleh terjadinya ketidakseimbangan struktur pertumbuhan ekonomi yang lebih tergantung pada sektor konsumsi.
Catatan Akhir
Pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh konsumsi tentunya merupakan rintangan untuk mengentaskan kemiskinan. Kebijakan ekonomi makro tentunya harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dan mengurangi jumlah penduduk miskin dengan mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta meningkatkan kualitas institusi. Menganggur berarti tidak bekerja, tidak bekerja sama artinya dengan tidak berpendapatan, dan pendapatan yang nihil artinya miskin. Sebagai solusi, pemerintah harus memperluas cakupan ekspansi fiskal sehingga dapat menyentuh beberapa sektor perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja berlimpah namun memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi. Tentunya kita semua berharap agar pertumbuhan ekonomi dapat berjalan seirama dengan pemerataan sehingga pertumbuhan ekonomi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak.
No comments:
Post a Comment