Thursday, July 22, 2010

Memfungsikan Demokrasi

Sudah lebih dari satu dekade lamanya Indonesia menikmati demokrasi sebagai buah dari reformasi di tahun 1998. Lantas, apa yang sudah kita dapat? Publik melihat demokrasi telah mengenyahkan Sri Mulyani, demokrasi pula yang telah melahirkan dana aspirasi. Patutkah kita meninjau kembali sistem pemerintahan kita? Atau mungkin, kita harus lebih mengenal dan memfungsikan demokrasi sebelum menjatuhkan vonis yang terlalu dini. Demokratisasi merupakan formula yang tepat dan legitimatif bagi kemerdekaan Tetapi jika tidak berhati-hati, demokrasi hanya akan berujung pada hegemoni dan dominasi. Demokrasi dan Kemakmuran. Dalam studi yang penulis lakukan di awal tahun 2010, ditemukan bahwa demokrasi di Indonesia justru menghambat laju distribusi pendapatan masayarakat atau dengan kata lain, telah tercipta sebuah kesenjangan besar dalam masyarakat karena demokrasi. Pola ini terjadi karena demokrasi di Indonesia telah mengkreasikan sebuah budaya korupsi. Menjamurnya korupsi tentu tidak lepas dari sistem pemilihan umum yang terdesentralisasi ke setiap pelosok daerah. Akibatnya, setiap aktor yang terlibat dalam sistem seperti ini “dipaksa” untuk meng”entertaint” para stakeholders nya. Tentu saja setiap pemenang pemilu model demikian akan terlibat koalisi kepentingan yang sarat akan muatan korupsi dan nepotisme. Dampak negatif demokrasi terhadap kemakmuran juga dipaparkan oleh Dimitraki (2010) di Yunani. Sebuah hal yang sangat mengejutkan karena Yunani bisa dikatakan sebagai negara penemu Demokrasi. “kita mengalami terlalu banyak pemilihan umum” ujarnya dalam suatu kesempatan. Temuan ini, ternyata sejalan dengan pemikiran Boediono, dimana dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar FE UGM Boediono mengatakan, bahwa rezim demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita 1.500 dollar AS (dihitung berdasarkan purchasing power parity/PPP dollar tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya delapan tahun. Situasi yang agak riskan mengingat pendapatan perkapita Indonesia baru mencapai kisaran US$ 2000 di akhir tahun 2009. Korelasi antara demokrasi dan kemakmuran juga mendapat perhatian Ari Perdana (2009) dimana ia menuturkan bahwa tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana membuat demokrasi dan peningkatan kemakmuran dapat dijadikan tujuan yang paralel tanpa harus mengorbankan salah satu diantaranya. Mendefinisikan Demokrasi. Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Demokrasi, mengikuti Schumpeter, dapat digambarkan sebagai “pengaturan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana masing-masing individu terkait dengan kekuasaan dan menentukannya melalui kompetisi dengan pemberian suaranya . Dari sini kemudian Apter dengan mengutip Birnbaun menentukan kuat lemahnya negara dalam hubungan dengan civil society. Tetapi, lemah atau kuat, demokratis ataupun otoriter, sistem politik berperan sangat penting dalam mengamati bagaimana ditentukannya hukum dan ketertiban untuk secara efektif mengendalikan aktivitas politik. Kebutuhan memperjuangkan demokrasi, membuat penikmatnya memperjuangkan dekolonisasi bersamaan dengan evolusi dari kekuatan-kekuatan demokratis, terutama dengan menafsirkan kembali nasionalisme kearah pemahaman akan “bangsa baru”. Pada proses ini, maka demokrasi ditetapkan dan diarahkan sebagai instrumen atau alat dari sebuah “bangsa yang sedang menjadi”. Pada satu sisi, paduan pasar dan demokrasi (a double market: politik dan ekonomi) merupakan pengganti gerakan penyeimbang yang diberikan oleh bantuan-bantuan dari luar, meskipun ini sebenarnya adalah juga proses imperialisme gaya baru, hegemonis dan menggantikan kontrol politik dengan kontrol ekonomi atau kontrol pasar. Dan sebagai hasilnya, kepercayaan dan keyakinan terhadap kekuatan konstitusi berkurang dan semakin dipercaya pendekatan resiprokal atau proses mutual dari atas kebawah dan bawah keatas. Negara diharapkan mengontrol pertumbuhan dan konsekuensinya. Ada semacam asumsi yang berkembang dalam framework developmentalis, yakni cepat atau lambat proses replikasi akan terjadi terutama pada nilai-nilai sosial dan budaya utama serta kelembagaannya sebagaimana yang dialami oleh negara industrial. Hal ini terutama karena bertumpu pada prinsip pertumbuhan ekonomi yang akan menghasilkan diferensiasi kerja, melahirkan kelas menengah, borjuis dan kemudian berkembang ke demokrasi yang mengatasi primordialisme dan tradisionalisme. Sementara itu, Pareto membedakan, elit dan non elit, serta membagi elit menjadi elit yang memerintah dan elit yang tidak memerintah. Sangat mungkin terjadi pergantian elit, apabila elit berkuasa mengalami pembusukan. Sementara bagi Mosca, pemerintah adalah sekelompok atau sejumlah kecil elit yang memonopoli kekuasaan. Mosca mengakui dan mengintrodusir kemungkinan adanya sirkulasi elit, dalam mana elit tidak selamanya berdasarkan kualitas moral individu. Mosca memang bertentangan dengan Marx, tetapi juga bertentangan dengan teori demokrasi yang menyebutkan “pemerintahan mayoritas”, dan lebih setuju dengan pemisahan kekuasaan ala Montesquieu. Demokrasi kemudian membawa dan melahirkan kontradiksi dan konflik dalam masyarakat kapitalis dan menjadi terbuka, sehingga kelas kapitalis tidak lagi mungkin menggunakan state untuk kepentingannya sendiri. Demokrasi dalam Realita. Mayoritas anggota DPR nampaknya mengkapitalisasi celah demokrasi dimana hal ini juga berarti bahwa rakyat mempertaruhkan nasib politiknya pada legislator yang hampa politik etis. Demokrasi menjadi sebuah transaksi yang harus dituntaskan. Pada kebijakan publik, prasyarat keterbukaan merupakan elemen yang penting. Jika prasyarat itu tidak ada, maka transaksi tersebut pasti merugikan publik. Karena itu, syarat adanya transaksi pada domain publik adalah transparansi, akuntabilitas. Dengan tingginya tingkat transparansi, maka gejolak yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi. Tanpa adanya transparansi, target kebijakan menjadi tidak berguna, karena publik tidak dapat membandingkan antara target dengan realisasi, sehingga dapat memicu terjadinya ketidak seimbangan. Pada prakteknya, transparansi ini diwujudkan oleh pembuat kebijakan dengan mempublikasikan analisa mengenai prospek masa depan dan juga analisa kebijakan yang telah dibuat pada periode sebelumnya.Lebih lanjut, dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya akan muncul legitimasi politik yang kuat. Legitimasi politik menjadi penting karena kebijakan-kebijakan yang dibuat harus merefleksikan sebuah konsensus nasional. Kondisi balance of power dan juga tanggung jawab yang ada, pada akhirnya dapat mengurangi dampak buruk dari kurang berfungsinya demokrasi. Fithra Faisal Hastiadi (Direktur Riset Fokus Parlemen (http://fokusparlemen.or.id/); Direktur Eksekutif Indonesian Progressive Institute; Staf Pengajar FEUI)