Wednesday, December 24, 2008

Media Published Article

You can find the Article at Republika

Memperkuat Basis Pertumbuhan Ekonomi

Fithra Faisal Hastiadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence dan Staf Pengajar FEUI


Krisis ekonomi global pada 2009 semakin di depan mata. Terlebih, sejumlah langkah penyelamatan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) tidak berjalan mulus. Pekan lalu Senat AS gagal menyepakati bail out senilai 14 miliar dolar AS untuk menyelamatkan tiga raksasa otomotif AS: General Motor, Ford, dan Chrysler.

Sementara itu, program penyelamatan bagi sektor keuangan AS senilai 700 miliar dolar AS yang telah disepakati pada Oktober juga tidak berjalan mulus karena ketatnya persyaratan yang diberikan Kongres AS. Tidak mulusnya program penyelamatan ekonomi AS ini tentunya akan memberikan pengaruh negatif bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Oleh karenanya, bila tidak ada langkah mendasar untuk menyelamatkan basis pertumbuhan ekonomi kita, tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang sudah terjadi pada kuartal ketiga 2008 (yang hanya tumbuh 6,1 persen), tampaknya akan berlanjut pada tahun 2009. Meski BPS belum menerbitkan laporan kinerja ekonomi kuartal keempat 2008, dengan melihat kinerja indikator ekonomi saat ini (ekspor dan inflasi), diperkirakan pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa menyamai level yang dibuat pada kuartal I dan II 2008, yaitu 6,3 persen dan 6,4 persen.

Dengan melihat potensi krisis ini, penguatan basis pertumbuhan ekonomi menjadi hal mutlak untuk dilakukan. Penguatan terutama diperlukan untuk mengompensasi basis-basis pertumbuhan ekonomi yang akan terpukul akibat krisis global ini. Di sini diperlukan kreativitas dari para pembuat kebijakan di negeri ini untuk memanfaatkan setiap peluang bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Reaksi terhadap Krisis
Pihak otoritas sesungguhnya telah melakukan serangkaian tindakan untuk mencegah perluasan dampak krisis ini. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan masih bersifat parsial dan cenderung masih ortodoks.

Sebagai contoh, respons untuk mengantisipasi tingginya inflasi, kebijakan yang diambil masih bertumpu pada kekuatan moneter, yaitu dengan menaikkan BI rate hingga menyentuh 9,5 persen meski akhirnya diturunkan ke level 9,25 persen pada Desember ini. Disebut ortodoks karena tindakan ini hanya berpengaruh terhadap permintaan agregat tanpa adanya sumbangan di sisi penawaran agregat. Efeknya tentu dapat diduga, permintaan agregat mengalami kontraksi yang pada gilirannya mengganjal pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dimengerti mengingat dalam kurun waktu delapan tahun terakhir (2001 sampai sekarang), struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan terbesar.

Ditilik dari sumber permasalahannya, tingginya inflasi disebabkan oleh peredaran uang yang berlebih secara relatif terhadap barang. Jika saja ruang untuk berkreasi sedikit diperluas, kondisi inflasi yang tinggi tentunya dapat diredam dari sisi penawaran, yaitu dengan melakukan ekspansi suplai sehingga gap antara barang dan uang menjadi lebih kecil tanpa harus menaikkan suku bunga. Insentif untuk ekspansi tentunya menjadi domain dari pemerintah sehingga diperlukan koordinasi yang efektif di antara otoritas fiskal dan moneter.

Suplai yang meningkat diiringi dengan perbaikan konsumsi domestik pada gilirannya akan menghasilkan ekonomi yang bertumbuh dengan tingkat inflasi yang manageable. Akan tetapi, dalam konteks analisis kebijakan, tindakan ini hanya bersifat parsial dan hanya memenuhi syarat perlu (necessary condition). Demi memenuhi asas kecukupan (sufficient condition) diperlukan sebuah tindakan yang juga bisa memperbaiki kinerja sektor riil sehingga pertumbuhan ekonomi yang tercapai merupakan pertumbuhan yang memiliki kualitas.

Penguatan sektor riil
Dalam perkembangannya, kinerja sektor riil juga tak luput terkena pengaruh dari krisis di AS dan beberapa negara maju lainnya. Pengaruh tersebut terutama disebabkan oleh melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS dan penurunan order yang berasal pasar tradisional ekspor kita, yaitu AS, Eropa, dan Jepang. Lebih lanjut, kondisi krisis global menimbulkan second round effect berupa melemahnya nilai ekspor neto Indonesia karena penurunan daya beli luar negeri dan semakin mahalnya bahan baku impor akibat pelemahan rupiah.

Kondisi ini pada gilirannya berkontribusi terhadap tren penurunan surplus (ekspor neto) neraca perdagangan Indonesia. Idealnya, komponen ekspor neto memiliki kontribusi yang semakin besar dalam menopang laju PDB sekaligus demi menciptakan kondisi aman pada suplai cadangan devisa.

Akan tetapi, kenyataan berkata lain, kontribusi ekspor neto dalam pembentukan PDB terus mengalami tren penurunan. Pada 2003 kontribusi ekspor neto terhadap pembentukan PDB masih 7,63 persen. Tetapi, pada 2004 kontribusi ekspor neto turun drastis menjadi hanya 4,65 persen.

Kemudian, pada 2005 kontribusi ekspor neto terhadap pembentukan PDB turun lagi menjadi hanya 4,30 persen. Kontribusi ekspor neto dalam pembentukan PDB mengalami kenaikan pada 2006 menjadi 5,40 persen. Namun, pada 2007 kontribusi ekspor neto turun menjadi hanya 4,10 persen.

Sejak 2007 hingga triwulan ketiga 2008 kontribusi ekspor neto sebagai penopang PDB terus mengalami penurunan. Pada triwulan ketiga 2008, kontribusi ekspor neto, bahkan tercatat berkontraksi atau tumbuh negatif sebesar 0,10 persen. Memburuknya ekspor neto tersebut merupakan gambaran bahwa telah terjadi perlambatan kinerja di sektor riil.

Substitusi impor
Mengingat adanya hubungan yang cukup erat antara perkembangan neraca perdagangan dan kinerja sektor riil maka usaha-usaha untuk memperbaiki performa neraca perdagangan akan memiliki kontribusi yang kuat terhadap perbaikan kinerja dari sektor riil. Namun, dalam situasi saat ini selayaknya usaha yang dilakukan perlu difokuskan pada strategi penguatan pasar domestik ketimbang membidik pasar luar negeri. Hal ini sangat rasional, mengingat kinerja ekspor kita mengalami penurunan sebagai akibat melemahnya kinerja perekonomian negara-negara tujuan ekspor.

Dengan pasar domestik yang tumbuh kuat, hal ini dapat mengompensasi penurunan kinerja ekspor kita. Berbicara mengenai pasar domestik tentunya ini menyangkut sisi permintaan agregat. Ditilik dari tinjauan kebijakan yang telah terpapar di atas, peningkatan konsumsi domestik secara relatif memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan meningkatnya impor. Hal ini pada gilirannya akan meminimalkan efek dari surplus neraca perdagangan.

Dengan demikian, kebijakan substitusi impor memegang peranan yang sangat penting untuk menyelesaikan cela ini karena tentunya kita tidak menginginkan usaha yang dilakukan para pemegang kebijakan dalam hal perbaikan konsumsi domestik memilki dampak yang minimal terhadap perbaikan sektor riil.

Ide dari strategi substitusi impor berangkat dari sebuah premis untuk mengurangi pengaruh eksternal terhadap perkembangan ekonomi negara, yaitu dengan menciptakan produk-produk yang sebelumnya diimpor. Melihat dari sejarahnya, kebijakan ini sangat lekat dengan negara-negara yang tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan pasar luar negeri, seperti yang pernah dilakoni oleh negara-negara Amerika Latin pada 1930-an. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, kebijakan ini dirasa efektif untuk mengatasi gejala krisis, sebuah gejala yang kini muncul di Indonesia.

Beberapa keuntungan potensial dari strategi ini berupa menguatnya kinerja dari sektor riil yang ditandai dengan meningkatnya lapangan kerja. Pada gilirannya kebijakan ini diharapkan akan menciptakan sebuah pertumbuhan ekonomi yang bersifat resilient terhadap shock ekonomi global.

Ikhtisar:
- Penguatan basis pertumbuhan ekonomi menjadi mutlak untuk mengatasi krisis.
- Kebijakan substitusi impor memegang peranan yang sangat penting.
- Sektor riil harus mendapat perhatian.

Thursday, December 4, 2008

Media Published Article

Bersiap Menghadapi Krisis Ekonomi 2009

Fithra Faisal Hastiadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) & Staf Pengajar FE UI

Tahun 2008 bisa dikatakan sebagai periode yang suram dunia. Betapa tidak, krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang dipicu oleh krisis subprime mortgage pada medio 2006 tampaknya akan terus berlanjut. Celakanya, karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara pasar keuangan AS dan dunia, imbas negatif juga terjadi di negara-negara lain.

Salah satu channel penularan adalah melalui harga saham. Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dolar AS terhadap mata uang euro dan yen. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi AS akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Dampak berikutnya dari penurunan harga saham di negara berkembang adalah adanya pelarian modal ke instrumen yang kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas) sehingga kurs mata uang negara berkembang melemah. Sebagai salah satu negara yang memiliki kaitan dengan ekonomi AS, Indonesia pun tak luput dari keguncangan ini.

Semestinya, Indonesia tidak harus menerima dampak langsung dari krisis di AS karena instrumen keuangan penyebab krisis di AS bukan merupakan komponen dominan di pasar keuangan Indonesia. Akan tetapi, pasar keuangan kita terkena dampak tidak langsung akibat imbas ekspektasi negatif pasar (dampak psikologis), sehingga investor ikut-ikutan panik dan bursa saham tergunjang.

Masih berlanjut
Sejumlah proyeksi yang dilakukan berbagai lembaga menunjukkan bahwa krisis masih akan berlanjut di tahun 2009, bahkan diperkirakan semakin dalam. IMF pada awal November lalu terpaksa merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang baru saja dikeluarkannya pada bulan Oktober 2008.

Revisi IMF didasari pertimbangan karena persoalan ekonomi yang dihadapi dunia saat ini sangat serius sehingga akan mengoreksi capaian pertumbuhan ekonomi global di tahun 2009. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada
2009 hanya akan mencapai 2,2 persen, atau terpangkas 0,8 persen dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Oktober 2008.

Kapan krisis ekonomi global ini akan berakhir? OECD dalam laporan terbarunya pada 25 November lalu memproyeksikan hal yang sama dengan IMF. Intinya, pada 2009 bisa dikatakan bahwa perekonomian dunia akan mencapai titik terendah dan diperkirakan baru akan rebound tercepat pada 2010. Dengan melihat spektrum krisis global saat ini, yang harus kita perhatikan adalah kesiapan kita menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di tahun 2009.

Terkait dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang dapat dicermati untuk menunjukkan kesiapan kita. Pertama, fundamental perekonomian domestik. Secara umum dan objektif dapat dikatakan bahwa hingga kuartal III 2008 fundamental ekonomi Indonesia masih mengindikasikan bagi kita untuk optimistis.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia menembus 6,3 persen pada 2007. Laju pertumbuhan ekonomi ini terus dipertahankan, bahkan di kuartal II 2008 mencapai
6,4 persen meski menurun lagi pada kuartal III 2008 menjadi 6,1 persen. Pencapaian
ini lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi negara ASEAN lainnya.

Kedua, pada Oktober 2008 lalu kecukupan cadangan devisa kita mencapai 57 miliar dolar AS meski kembali turun menjadi 51 miliar dolar AS pada November 2008. Begitu juga dengan kondisi sektor perbankan. Meski sempat krisis likuiditas pada pertengahan 2008 serta adanya pengambilalihan Bank Century oleh pemerintah belum lama ini, secara umum seluruh indikator perbankan menunjukkan kondisi yang positif.

Ketiga, demikian juga dengan inflasi. Meskipun inflasi tahunan berada di level 11- 12 persen, menurut penulis hal itu masih wajar karena terdapat administered inflation yang tidak bisa dihindari. Dengan melihat beberapa indikator di atas kita sesungguhnya memiliki bekal yang cukup baik untuk menghadapi kondisi ekonomi pada 2009.

Ekonomi Indonesia seharusnya memang lebih resilient terhadap gejolak faktor eksternal dibandingkan dengan negara-negara lain. Terlebih lagi, struktur ekonomi kita sesungguhnya tidak terlalu bergantung pada aspek eksternal (ekspor), tetapi lebih ditopang oleh faktor domestik terutama dari konsumsi masyarakat.

Restrukturisasi utang
Meski demikian, mengingat proyeksi perekonomian global pada 2009 yang begitu buruk, tampaknya kita masih harus mempersiapkan bekal yang lebih dari yang kita miliki saat ini. Terlebih lagi, beberapa indikator ekonomi saat ini telah menunjukkan gejala penurunan, seperti yang ditunjukkan oleh capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2008 dan cadangan devisa pada November.

Oleh karenanya, tidak berlebihan bila ada pihak yang mengatakan bahwa dampak krisis global yang sesungguhnya baru terjadi pada bulan-bulan ini dan bulan-bulan mendatang pada 2009. Pertanyaannya, lalu apa yang perlu dilakukan agar kita bisa survival atau bahkan ofensif dalam menghadapi kemungkinan krisis global di tahun 2009 nanti?

Kita tetap merasa perlu menjaga kinerja industri yang bergerak di sektor eksternal (ekspor). Kenapa? Krisis saat ini berbeda dengan krisis kita pada tahun 1998. Waktu itu, meski kurs rupiah kita berada di level yang sangat rendah (sehingga memukul industri manufaktur), kita bisa menikmati windfall profit dari ekspor komoditas primer seperti pertanian dan perkebunan. Dengan demikian tidak mengherankan bila pengusaha di sektor perkebunan (CPO, cokelat, karet) di daerah waktu itu memperoleh keuntungan berlipat dari ekspor akibat tingginya harga dan depresiasi kurs rupiah.

Kondisi saat itu berbalik total dengan kondisi saat ini. Rendahnya harga komoditas primer serta berkurangnya order dari negara maju (AS dan Eropa) menyebabkan kita tidak bisa mengambil keuntungan dari kejatuhan kurs rupiah yang kini berada di level Rp 12 ribuan. Di sisi lain, melemahnya kurs rupiah telah memukul industri
manufaktur karena tingginya komponen biaya impor. Padahal, sektor-sektor yang
menopang ekspor ini telah menjadi penopang bagi jutaan tenaga kerja sehingga
bisa dibayangkan berapa banyak PHK yang akan terjadi bila kinerja ekspor terpuruk.

IEI melihat bahwa upaya mengembalikan kurs rupiah di level Rp 9.000-an per dolar AS adalah menjadi hal yang penting. Salah satu strategi yang disarankan adalah pemerintah perlu secepatnya melakukan debt resolution dengan melakukan restrukturisasi pinjaman luar negeri (PLN), baik pemerintah dan swasta, yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini untuk mengurangi tekanan permintaan dolar AS.

Hingga kuartal III 2008, jumlah pembayaran pokok dan bunga PLN kita telah mencapai 32,4 miliar dolar AS, terutama PLN dari swasta dan perbankan. Tingginya pembayaran PLN menjadi salah satu penyebab tingginya demand valas sehingga menekan kurs rupiah.

Tentunya, langkah debt resolution bukanlah satu-satunya cara memperkuat ketahanan ekonomi kita dari krisis. IEI juga mengusulkan agar pemerintah melakukan kebijakan kontrol devisa untuk mencegah terjadinya aksi capital outflow yang tidak didasari oleh underlying transaction yang jelas.

Tak kalah penting, di tengah melemahnya permintaan dari pasar luar negeri, penguatan dari sisi domestik (permintaan dan suplai) menjadi sangat penting. Oleh
karenanya, beragam kebijakan yang berorientasi pada pemanfaatan produk lokal
serta peningkatan daya beli masyarakat menjadi penting. Di sini instrumen fiskal memegang peran sentral untuk menggerakkan roda perekonomian domestik.

Tentunya kita berharap proyeksi krisis ekonomi global pada 2009 tidak sesuram yang kita bayangkan. Meski demikian, tidak ada salahnya bila kita mempersiapkan diri dalam menghadapi skenario terburuk agar kita terhindar dari dampak krisis yang lebih parah. Bahkan, kita berharap pada 2009 akan menjadi titik balik bagi perekonomian nasional.

Ikhtisar:
- Beberapa lembaga perekonomian dan analisis memperkirakan perekonomian dunia akan mencapai titik terendah pada 2009.
- Berbeda dengan krisis sebelumnya, harga komoditas Indonesia jatuh karena berkurangnya order dari negara maju.

This article was posted in December 1st 2008 on Republika

Friday, October 17, 2008

DAMPAK KRISIS YANG KINI TERUNGKAP

Jagad ekonomi dunia kembali guncang, lakon utamanya adalah amerika yang sepertinya kian akrab dengan krisis. Krisis subprime mortgage yang berawal pada medio 2006 tampaknya terus berlanjut dan membawa amerika ke lembah krisis yang semakin dalam. Efek negatif dari fenomena ini kemudian menjadi berlipat-lipat tatkala kondisi meraup keuntungan jangka pendek ini menggejala pada lembaga finansial raksasa di Amerika. Celakanya, karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara pasar keuangan dunia dengan pasar keuangan Amerika, imbas negatif juga terjadi di negara-negara lain. Tentu saja Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki fundamental ekonomi yang lemah, tak luput dari keguncangan ini.

Dampak Krisis ke Indonesia

Indonesia sebenarnya tidak akan menerima dampak langsung dari krisis di US, karena instrumen penyebab krisis di US bukan merupakan komponen dominan di pasar keuangan Indonesia. Akan tetapi, pasar keuangan Indonesia bisa mendapatkan dampak tidak langsung berupa imbas ekspektasi negatif pasar (dampak psikologis), sehingga membuat investor panik dan terjangkit. Panic selling pun terjadi dan tanpa dasar yang jelas, dasarnya hanya imbas ekspektasi negatif yang berlaku bak virus yang menjalar dengan cepat. Bursa pun ditutup sementara pada tanggal 9 dan 10 september 2008 yang lalu demi menahan laju penurunan indeks. Mengantisipasi krisis di bursa, pemerintah bersama BI dalam rapat koordinasi terbatas yang dilakukan bersama dengan DPR mengupayakan beberapa langkah antisipatif berupa penguatan sektor perbankan dari kekeringan likuiditas, menjaga pertumbuhan kredit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong ekspor demi memperkuat neraca pembayaran, menurunkan defisit, mempercepat belanja pemerintah serta menjaga program-program prioritas seperti pengentasan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran. Akan tetapi, poin-poin antisipasi ini belum menyentuh esensi permasalahan dan kurang fokus. Ketidak jelasan program pun pada gilirannya belum membuat pasar berhenti dari kegelisahannya, apalagi pemerintah dan Bank Indonesia kurang mampu menerjemahkan keabstrakan dari kebijakan menjadi langkah-langkah yang menyentuh sasaran. Alih-alih membuat keadaan menjadi lebih baik, langkah yang diambil cenderung membuat masyarakat menjadi semakin bingung.

Kebijakan Kontradiktif


Pemerintah, dalam usahanya membuat keadaan menjadi kondusif, mengeluarkan beberapa langkah seperti penghapusan aturan nilai wajar efek ditentukan dari nilai pasar (marked to market) untuk surat utang yang dimiliki perbankan, pelonggaran aturan terkait dengan buyback saham, menambah porsi belanja kementerian dan lembaga, pembelian saham BUMN yang terkoreksi secara signifikan serta penegakan hukum oleh otoritas pasar modal terhadap pelaku pasar yang melanggar aturan. Langkah-langkah penyelamatan dan peluncuran likuiditas ini kemudian berusaha dipadankan degan kebijakan dari BI yaitu dengan dinaikkannya suku bunga dari BI rate sebesar 0,25 basis poin dari 9,25 menjadi 9,5 persen.

Langkah yang diambil pemerintah dan BI tidak hanya berlaku sektoral, menyelamatkan pasar finansial, tetapi juga kontradiktif. Disebut sektoral karena langkah pemerintah mem-buy back saham BUMN semakin menjustifikasi sikap pilih kasih dari pemerintah. Dengan mudahnya pemerintah mencairkan anggaran untuk menyelematkan pasar keuangan, tetapi alokasi anggaran pemerintah untuk menaikkan permintaan riil seperti kucuran dana untuk sektor usaha kecil dan menengah justru semakin tidak jelas. Padahal, sektor UMKM ini merupakan kunci utama untuk mengentaskan kemiskinan dan menekan angka pengangguran Langkah pemerintah kemudian diikuti BI dengan caranya sendiri yaitu menaikkan BI rate. Sebuah cara yang diluar kebiasaan mengingat kenaikan tingkat sukubunga sebenarnya justru mengkerutkan likuiditas di pasar, penyaluran kredit menjadi tersendat karena suku bunga yang tinggi tersebut. Masyarakat pun semakin enggan untuk membelanjakan uangnya karena kenaikan suku bunga berlaku laiknya insentif untuk berinvestasi (menyimpan uangnya di bank). Pada gilirannya konsumsi berkurang karena permintaan agregat yang mengkerut, pertumbuhan ekonomi pun menjadi terkendala. Sementara itu, argumen dari Bank Indonesia, kebijakan menaikkan suku bunga itu akan menambah likuiditas di pasar finansial mengingat spread sukubunga antara BI rate dengan suku bunga internasional sudah sedemikian melebar. Memang, melihat tren yang ada, langkah yang diambil BI cenderung merupakan kebijakan yang menentang tren, karena beberapa negara seperti Amerika, Australia, Jepang, Uni eropa, Inggris, Cina, Korea selatan, justru berbondong-bondong menurunkan tingkat suku bunga. Kondisi perbedaan spread ini pada gilirannya diharapkan menghasilkan arus modal masuk (capital inflow). Akan tetapi, model likuiditas seperti ini tidak sehat karena arus modal masuk ini bersifat jangka pendek (hot money) dan sewaktu-waktu bisa kembali mengalir keluar. Sementara itu, dilihat dari sisi pasar saham, kenaikan suku bunga ini akan kemali meluluh-lantakkan pasar karena dengan tingkat suku bunga yang tinggi, harga akan kembali menukik. Memang pasar saham bisa kembali menggeliat dengan adanya liran modal masuk, akan tetapi tentunya ini tidak bersifat fundamental. Hal ini tentunya kontradiktif dengan usaha pemerintah untuk menyelamatkan bursa. Kebijakan ini juga berimbas pada menurunnya kualitas kredit yang diajukan masyarakat, memang likuiditas di pasar bisa meningkat karena perbankan akan lebih leluasa menyalurkan kreditnya dengan menurunnya rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dari 3% menjadi 1 % per 13 Oktober, akan tetapi Bank akan menghadapi permasalahan adverse selection karena hanya masyarakat yang beresiko tinggi saja yang mau mengambil kesempatan mengambil kredit dengan suku bunga yang tinggi, sementara masyarakat yang memiliki resiko rendah masih mempunyai alternatif pembiayaan lain. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil BI ini sangat tidak fundamental dan tidak menyentuh aspek yang paling utama yaitu permintaan riil. Kegamangan BI ini ditenggarai terjadi karena laju inflasi yang sudah sedemikian liar (laju Inflasi year on year 12,14%), dan rupiah yang mulai mengamuk (nilai rupiah per dolar AS sempat menyentuh angka Rp 10.000). BI pun dihadapkan pada pilihan, menjaga nilai rupiah dan inflasi atau menambah likuiditas riil ke masyarakat.

Akibat tindakan ini, sektor riil yang sedang mengalami tahap recovery dikhawatirkan akan kembali terjerembab. Selama otoritas fiskal dan moneter masih melakukan langkah-langkah yang bersifat ad hoc, maka publik boleh jadi akan terus bertanya kapan krisis akan berakhir?

Friday, July 25, 2008

Thesis Submitted

Abstract

Resource Drain In Indonesia And The Need For Debt Renegotiation With Japan


The aim of aid is clear which is to help the developing countries to reduce its poverty level through economic development channel. But, the fact is a contradictory one, aid in the form of debt for the developing countries does not function as a savior, the debts are more like a burden to the developing countries. This paper tries to prove the fact that external debts do not serve to the benefit for the developing countries but it is merely a tool for draining resources in developing countries. The proof will be explained through the case of Indonesia and Japan, the first one represents the developing countries as the debtor while the latter represents developed countries as the creditor. The series of data to uncover the fact will be analyzed through Vector Auto Regressive Model, Cointegration and Error Correction Model to which it will explain the relationship between Indonesia trade balance with Japan; the number of Indonesian external debts payments; and the GDP of Japan. As a supportive means, I will also employ cross section and panel data analysis to describe the increasing level of unemployment in rural areas as a relation to the debt that were being given mostly to the agricultural sectors. The evidence of resource drain from a foreign debt payment will determine the conclusion of the need for debt renegotiation.

Key words: foreign debt, resource drain, vector auto regressive, Indonesia, Japan

Friday, June 27, 2008

Media Published Article

This is the Indonesian post from the previous article entitled "Optimizing The Trickle Down Effect Policy 1 and 2" you can see the original post at Media indonesia

Mengoptimalkan Kebijakan Trickle Down Effect

Pelbagai diskursus mengenai kebijakan trickle down effect seakan menjurus pada sebuah stigma yang diamini secara bersama-sama. Setiap topik atau bahasan mengenai prinsip trickle down effect mesti berujung pada sikap penghakiman yang berat sebelah. Pengusung kebijakan ini mungkin akan menjadi sasaran empuk para penganut paham post development untuk dihakimi secara membabi buta. Segala ungkapan bernuansa celaan semisal pro status quo hingga anti rakyat menjadi santapan sehari-hari. Perlakuan ini mungkin sebuah justifikasi yang cukup rasional mengingat sejarah telah bercerita mengenai gagalnya kebijakan ini dalam mengangkat kesejahteraan rakyat banyak. Sebab, alih-alih meratakan pendapatan, yang terjadi justru penumpukan modal pada satu kelompok elite yang biasa kita kenal sebagai para konglomerat. Karena itu, tidaklah salah jika kemudian kebijakan trickle down effect ini lebih dikenal sebagai kebijakan konglomerasi. Ungkapan ini kemudian lebih sering diposisikan sebagai istilah politis yang bernuansa retoris. Upaya penggiringan opini menjadi sesuatu yang sah selama hal itu ditunjang oleh bukti yang sahih. Adalah upaya penyesatan jika usaha untuk menggiring publik lebih didasari emosi yang membuncah.

Prinsip kebijakan

Kebijakan trickle down effect pada prinsipnya merupakan kebijakan yang memosisikan para kaum berpunya sebagai kelas yang diutamakan dalam hal menggerakkan perekonomian suatu bangsa. Dengan dibukanya akses dan pendanaan secara menyeluruh terhadap segala aktivitas maka investasi domestik diharapkan akan berjalan dan berlipat dengan semakin gencarnya fokus pada sektor bisnis infrastruktur serta pasar keuangan. Dengan demikian, pada gilirannya skema ini akan menciptakan sebuah struktur kapasitas produksi yang meningkat. Produksi yang menggeliat akan menggiring harga-harga pada tingkat yang lebih rendah dan menciptakan lapangan kerja untuk para kelas menengah dan menengah ke bawah.
Skema ini berjalan dalam sebuah ide dasar, pendapatan (income) dapat difungsikan melalui tiga jalur utama yaitu pajak, permintaan domestik, dan tabungan. Pemberdayaan pendapatan melalui sektor pajak tentu akan menggeliatkan sektor investasi publik. Investasi publik ini bisa berupa pengembangan kegiatan pariwisata, pembangunan infrastruktur (jalan raya, pelabuhan, dan kelistrikan), investasi sektor pertanian (pembukaan jalur irigasi terpadu dan mekanisasi), serta investasi pada pengembangan sumber daya atau energi alternatif. Investasi pada sektor-sektor ini tentunya akan menarik para investor baik domestik maupun asing untuk ikut berperan serta dalam pembangunan mengingat daya tarik dari lokasi industri yang sudah dipenuhi oleh berbagai fasilitas yang mendukung kelancaran berbisnis. Geliat industri-industri utama pada akhirnya akan memberikan sumbangsih positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu dari sisi yang lain, meningkatnya pendapatan akan menaikkan proporsi permintaan domestik yang dapat berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berjalan alami sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa sektor konsumsi merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir. Jalur pemberdayaan terakhir adalah melalui tabungan. Meningkatnya pendapatan akan memperbesar proporsi pendapatan yang dapat ditabung. Dana dalam tabungan kemudian dapat difungsikan melalui sistem perbankan nasional untuk kemudian disalurkan bagi kebutuhan investasi swasta. Peningkatan investasi swasta diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai skema yang dijalankannya. Sebagai kesimpulan, mekanisme transmisi ini tentunya mengisyaratkan bahwa injeksi yang diberikan terhadap kelompok menengah ke atas mampu memberikan dorongan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang menetes ke bawah, yaitu pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan dinikmati secara luas oleh masyarakat.

Disfungsi kebijakan

Dengan skema ideal sebagaimana telah dijabarkan di atas, kebijakan trickle down effect dalam implementasinya seakan bertempat pada posisi yang tidak semestinya. Bermacam penelitian yang ditujukan untuk menganalisis akar permasalahan tak kunjung mendapati jawaban yang memadai. Vonis yang ada pun terkesan salah alamat, korupsi dianggap menjadi biang keladi dan menjadi sumber pengisapan yang berlaku trickle up dan ditahbiskan sebagai paradoks pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang eksklusif, yang berakibat pada melebarnya jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Korupsi memang melanggar batas norma, sebagaimana korupsi memang memuakkan. Premis ini berujung pada kesimpulan bahwa korupsi mengerdilkan pembangunan. Anggapan ini boleh jadi benar apabila hasil korupsi mengalir ke luar negeri. Tetapi, akan beda hasilnya jika harta hasil korupsi diinvestasikan ke dalam negeri. Hal ini sejalan dengan asumsi yang telah dijabarkan panjang lebar di atas mengenai skema ide trickle down effect yaitu investasi domestik. Dalam skala yang ekstrem dapat dikatakan bahwa pelaku megakorupsi tidak akan merugikan negara selama mereka menginvestasikan hasil “kejahatan kemanusiaan” ini di dalam negeri sebab dengan demikian skema trickle down effect yang ideal akan berjalan. Hal ini tentunya bukan untuk menjustifikasi perbuatan korupsi karena secara moral korupsi merupakan perbuatan laknat yang patut mendapat ganjaran yang paling kejam. Akan tetapi, pemberantasan korupsi masih dinilai sebagai perbuatan revolusioner dan penuh perhitungan politik. Pertanyaannya adalah, seberapa lama sustainabilitas dari pembangunan ekonomi akan bertahan di tengah ketidakpastian politik? Sebuah ungkapan kesohor dari ekonom kenamaan Inggris John Maynard Keynes kiranya bisa dilatarkan: how long is the long run? In the long run we are all dead.
Solusi yang optimal untuk membarikade dana-dana yang beredar di dalam negeri untuk tidak lari lantas kemudian hilang adalah melalui sistem insentif yang menarik. Tata kelola pemerintahan yang baik adalah jawabannya. Terdapat empat kendala utama yang dianggap menghambat iklim investasi yang kondusif yaitu inefisiensi birokrasi, regulasi ketenagakerjaan dan kepailitan yang kurang menunjang, kurangnya insentif pajak, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung investasi. Rendahnya investasi baru juga disebabkan oleh belum tuntasnya produk hukum, ekonomi biaya tinggi (banyaknya pungutan liar), birokrasi yang panjang, terbatasnya pengeluaran pemerintah dalam menstimulus perekonomian serta terbatasnya pembiayaan perbankan. Di sinilah seharusnya pemerintah berperan.

Oleh Fithra Faisal Hastiadi, Kandidat Master dari School of Media and Governance, Keio University Japan

Friday, June 13, 2008

East Asian Integration

Last weekend, I went to Shanghai to do Pilgrim workshop at Fudan University. It is a beautiful city, the buildings are very futuristic that even wandered me whether I was still in the year of 2008, or in 2080... ?! Even so, the city still has some flaws, one of the most obvious one is the people. They behave as a typical developing country men; littering everywhere, driving carelessly, trespassing the traffic lights. Well, I would say to my self: welcome home man! (Jakarta is more or less the same)
Well, It wan an honor for me to present my research at Fudan University, and here is the omiyage from Shanghai

Monday, May 26, 2008

Optimizing The Trickle Down Effect Policy (2)

With the ideal scheme, the trickle down effect policy has been placed inappropriately in terms of implementation. Various researches have been done but it fails to reach the true answer. The basic accusation for the flaws in policy seems to lead to an inaccurate subject: Corruption. Yes, corruption is being accused as an antithesis of the policy in which functions to drain the resource that goes trickle up and more to become a paradox in growth. This is a result from an exclusive economic growth which leads to a widening in gap between rich and poor. It is agreeable that corruption would go against all norms, as it will impede development by the dysfunction of a political system or institution in which government officials, political officials or employees seek illegitimate personal gain through actions such as bribery, extortion, cronyism, nepotism, patronage, graft, and embezzlement.

But it is important to note that the above evil description of corruption would be true if the funds from the corruption flows outside from the country, the result would be different if the funds were invested domestically. This goes with the assumption of the trickle down effect idea about domestic investment. In an extreme scale, it can be said that a person who does mega corruption would not make the state runs into bankruptcy as long as they invest the funds within the country since in this way the ideal scheme of trickle down effect would work. Again, this is not a technical justification of corruption since I agree that corruption is a moral crime that should have the most menace compensation. But, the war against corruption in Indonesia still accounts as revolutionary and needs some political consideration. The question is how long the sustainability of economic development could withstand the pressure of political uncertainty? A most widely known word of John Maynard Keynes could be set as a background: “How long is the long run? In the long run we are all dead.”

The optimal solution to barricade the flowing funds in the country from going outside is through system of incentive, good governance is one of the ways. There are four main barriers that impede a sound investment climate in Indonesia: inefficiency in bureaucracy, the lack of labor regulation, the lack of tax incentive and the unprepared infrastructure facilities to support investment activities. The lack of investment is also caused by the high cost economy, the lack of government support to provide stimulus and the lack of bank financing. The government has to pay major role to tackle this problems so that the policy would function effectively.

Optimizing The Trickle Down Effect Policy (1)

The discourse about trickle down effect policy often headed to a social stigma in which proclaims unanimous decision. Every topic about this policy must have lead to an unfair trial. The one who lean towards this policy would be condemned by the post development activists and to be judged inappropriately.

Words contain abusive meaning such as pro status quo and anti poor are becoming day to day activity.

This reaction might be a rational justification since the history has told us about the incapability of the policy to make leverage towards people well being. Instead of creating the distribution of income, the policy creates a large sum of capital accumulation towards an elite group which is widely known as the conglomerates. The fact creates another term of the trickle down effect policy: conglomeration. The term used in political rhetoric to classify economic policies perceived to benefit the wealthy and then "trickle-down" to the middle and lower classes. Efforts to lead people opinion are justifiable as log as it has some basic proof. The efforts would be unjustifiable if it is only based from sentiments.

The ideas derided as "trickle-down economics" are often seen as a major rhetorical variant of "what's good for business and the rich is good for the country." In this form they have been ridiculed by Franklin Delano Roosevelt as "toryism." The economist John Kenneth Galbraith noted that "trickle-down economics" had been tried before in the United States in the 1890s under the name "horse and sparrow theory": "if you feed enough oats to the horse, some will pass through to feed the sparrows." Galbraith claimed that the horse and sparrow theory was partly to blame for the Panic of 1896. In the principle, the policy places the haves as the main class to be considered to accelerate economic growth. The theory states that if the top income earners invest more into the business infrastructure and equity markets, it will in turn lead to more goods at lower prices, and create more jobs for middle and lower class individuals

This scheme operates from a basic idea in which describes that income can be functioned from three main aspects: tax, domestic demand and savings. Income empowerment through tax would accelerate public investment sector. The public investments could have the form as tourism development, social capital stock enrichment (roads, railways, ports, and electricity), agricultural investment (irrigation, consolidation, mechanization) and energy resource development. Investment in these sectors would attract investors to join the development activity due to the complete temptation from the industries in which being supported by advanced facilities that will boost business activities.

Meanwhile from the other side, the increase in income would raise the proportion of domestic demand that would contribute to the economic growth. This functions naturally as we already recognize that consumption is the major supporting actor in promoting economic growth in Indonesia over the last decade or so.

Aside from tax and domestic demand another aspect from the policy scheme is saving. The increase in income would have a positive relationship with an increase in saving due to the increasing proportion of income that can be saved. As a result the funds from the saving could be functioned by the banking system to be channeled for the private investment needs. The increase in private investment will accelerate economic growth through the increase in business activities.

As a conclusion, the transmition mechanism explicitly accounts the merit of the conglomerate in supporting the economic growth. Thus, in a trickle down economics context, the economic growth would increase the total welfare of the people.

Monday, May 12, 2008

In Memoriam: Reform's Activists

Hari ini 10 tahun yang lalu
Tercecer darah dihujam peluru
Tentara bengis merenggut kibaran asa
Pekik tangis menyentak kalbu pertanda tutup usia

Impian di pendamkan selongsong peluru
Idhin sang ustad ingin bergelar Insinyur
Ditanya sang ibu 10 tahun yang lalu
Kapan engkau pulang nak?
Idhin menjawab, akan pulang hari Rabu
Idhin pun pulang tapi sudah terbujur kaku

Elang sang pelukis ingin bergelar arsitek
Ditembak dihalaman gedung
Peluru berlaku algojo
Pengoyak kanvas masa depan

Hendri berujar pada sang kakek
Pantang aku mundur dari garis terdepan
Peluru mengoyak sang komandan
Sapu tangan merah ditinggal untuk sang pacar

Heri bermimpi jadi pengusaha
Proposal ratusan juta sudah di depan mata
Nyawa pun terenggut
Usaha tak pernah terwujud

Hendri merantau hendak menjadi ekonom
Elang bersusah ingin jadi arsitek
Heri bergumam jadi saudagar
Idhin ingin jadi tukang insiyur
Kini arsitek, ekonom, saudagar dan insinyur berkonferensi di liang kubur

Tentara bengis entah siapa yang komando
Merobek, mengoyak, merampas mimpi sang muda

Catatan kuliah, sepatu, pakaian dan topi
Saksi bisu perjuangan
Hidup pun diakhirkan
Oleh sebutir peluru
Hari ini 10 tahun yang lalu

Wednesday, May 7, 2008

Trade Institutionalization



From the above figure we might say that China is posing a threat to the Japanese Economy by its intense competition. The intensity more or less came from the import substitution strategy in China. With this policy, China eventually learn to produce the imported goods domestically in which threatened the sustainability of the Japanese Economy, or to make it simple: Chinese products are everywhere in Japan! This might lure the Japanese Economy wouldn't it?

With the precedent fact, will the triangular agreement between
Japan, Korea and China in the form of EPA (Economic Partnership Agreement) give benefit to Japan?

To answer this question, I made a projection based from series of quarterly data ranging from 1985 to 2004. The variables in the research consist of the Japanese GDP, the Japanese Export to
China and the Japanese Export to Korea.

In the case of
Korea, there is a positive impact both in the short and the long run. The export to Korea will boost the Japanese GDP in a one way or another for a stable period of time.

What about
China then?

In the short run, the Japanese Export to
China leads to an overshoot in the Japanese GDP, suggesting that in the long run the Japanese Export to China will loose its significance to the Japanese GDP due to the rapid learning curve of the Chinese production capacity in which eventually leads to a lesser dependency from the Japanese products.

But, it is important to note that the adjustment rate from the equilibrium error ,that concludes the overshoot in the short run, is very small suggesting that the positive effect from the export will last in a considerable time.

The same positive effect is true from the Chinese and the Koreans point of view

Thus, the institutionalization of trade among
Japan, Korea and China is a very constructive way to built fundamental growth in the region. This preliminary study serves as a complementary research with regards to the previous one.

Another question might be raised based one the Bhagwati's spaghetti bowl effects. The EPA might serve as a form of Preferential Trade Agreement, which according to him is a stumbling block toward integration. But, as you can see from the EPA, it is initially driven from the GATT and the WTO and it is even moving towards beyond it. So The EPA is not even a PTA because of the uniqueness. So, would you mind cherish the EPA?



Tuesday, April 29, 2008

Aisha Rihana Hastiadi

Lahirlah sudah ke dunia

Seorang anak manusia

Aisha Rihana Hastiadi

Demikianlah orangtuamu memberi nama

Anak ku itu

Lahir di negeri yang tengah gontai

Lahir di tanah serampang

Lahir di negeri penggunjing

Anak ku itu

Lahir ditengah kegalauan

Lahir ditengah keterpurukan

Lahir ditengah kaum yang bejat

Kerisauan dan kegalauan menjadi sebuah pemakluman

Risau karena dunia bertambah bejat

Galau karena dunia mulai didominasi syahwat manusia

Syahwat kekuasaan, Syahwat penindasan, Syahwat berutang

Sungguh berat bebanmu nak

Berat akibat bangsa yang salah urus

Berat akibat bangsa yang termarjinalkan

Berat akibat bangsa yang terlampau banyak berutang

Duniamu kini nak

Berbeda dengan dahulu

Dahulu bugil adalah porno

Kini bugil adalah karya seni

Tak rela ku sampaikan cerita

Cerita kejamnya dunia

Cerita beratnya hidup di dunia

Beban kini berada di pundakmu nak

Karena engkau adalah sebuah pengharapan

Harapan akan masa depan cerah

Harapan akan sebuah kebangkitan

Aisha

Memegang asa

Melantun rasa

Menyemai jiwa

Monday, April 14, 2008

Voters Optimalization; A Game Theoritic Approach

A colleague of mine placed a political phenomenon into an economic framework here. Well, I think it was a nice one which makes me want have one in this blog. My emphasize is on the Optimal Voters achievement using the game theory model.

I simplify the case into a two party competition case. In this simulation, each of the parties face three possible options in which describes political preferences to a candidate in order to win the election. The options are; pairing with Incumbents, (Inc), Celebrities (Cel) or Military figure (Mil)

Here is the table:



Party II


Inc
Cel
Mil
Party
I
Inc
1,0
0,1
1,0
Cel
1,0
?
1,0
Mil
0,1
0,1
?

I place this simulation in a complete vacuum in which assumes the parties do not communicate to each other. Party I is a dominant party in which has a bigger voter base than party II the mediocre one. I base the simulation from the precedent elections which have taken place throughout the country, ranging from municipalities to provinces. Moreover, I assume that all of the party representatives in the election are newcomers, leaving the partner into the above mentioned variables

If party I choose to pair up with incumbent, the party would most likely win the election (1,o) unless party II choose celebrity to be a partner (0,1). If party I pair up with celebrity, they will win the election while leaving party II behind since the odds will be on the dominant side. What about the question mark then? I will explain it at the end of this post.

And here is the interesting part, pairing up with a military figure would then justified as a winning ticket, well then, it serves only in a mythical manner. A party that choose a military figure will only sit on the loosing side.

So, what about the question marks? The question marks will only presence if both parties choose celebrity vis a vis military figure. In this situation, the winner would be the party in which their political engine works the most. A cadre based party like Justice and Prosperity Party (PKS) would undoubtedly have their benefits and would go against all odds.

Monday, April 7, 2008

Please Welcome: Mr Boediono

The prolonged process has come into end when the parliament members were in accord for Boediono to replace Burhanudin Abdullah as the new Governor of Bank of Indonesia (BI). Boediono seemed to please the parliament with all the answers he gave in the fit and proper test forum.

Yes, I think the parliament has made a right decision. Despite his shortcomings, he seems to be the most suited person to fill the job. He even matches the criteria from this guy. But, hey try not to be cocky sir since you have a very difficult task ahead; stabilizing the inflation rate while at the same time creating sustainable economic growth.

Judging from his track record, I bet he will do tight monetary policy instead of a loose one. Well, try not to be hustled Sir! Your overseas colleague, Ben Bernanke, has had his day when he did it without proper judgments. Please Sir, do not betray our trust.

Thursday, April 3, 2008

Bewildering Projection

Indonesia may face a slowdown in the forthcoming years. The global turbulence is considered to be the major culprit. The ADB projection as described here has clearly made the confirmation. But it seems that the government had their own projection. I still don't get it, how did they come up with such result?

Well if I try to expel my logic, things would be clearer then. It is more like a political target instead of economic one.

Tuesday, April 1, 2008

Media Published Article

This is the Indonesian version from the previous post entitled "Governing the Market's Expectation" You can see the original post in republika

Menatap Kinerja Perekonomian

Oleh :

Fithra Faisal Hastiadi


Staf Pengajar FE Universitas Indonesia Kandidat Master dari School of Media and Governance Keio University Japan

Tak terasa kita sudah menjejak dalam triwulan pertama 2008. Singkat memang dalam ukuran waktu, tetapi sudah banyak frame cerita yang membuat publik banyak menahan napasnya. Bayangan akan adanya sebuah krisis lanjutan menjadi momok yang terus bergelayut dalam benak sebagai konsekuensi dari rentetan peristiwa negatif yang terus mengakrabi dunia.

Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang kemudian dilengkapi dengan krisis minyak dan beberapa komoditas utama dunia telah bertindak sebagai katalis pembentuk kelimbungan. Dengan fakta yang demikian, sebuah gambaran suram yang bertajukkan krisis ekonomi tentu sangat berpotensi membentuk ekspektasi negatif dari pasar.

Ini sebuah hal yang jika dibiarkan berlarut-larut akan mensahihkan ekspektasi yang terbentuk. Gerakan sigap dari pemerintah merupakan sebuah syarat untuk mengatasi kelimbungan. Sebuah peranan institusional yang kemudian dicukupkan dengan komunikasi dan kerja sama yang efektif dengan para stakeholder lainnya, seperti Bank Indonesia, DPR, dan juga pelaku pasar.

Gejolak pendorong stagnasi


Mengerutnya kapasitas ekonomi dunia yang dikomandoi oleh tertahannya laju perekonomian Amerika Serikat dan juga naiknya harga-harga komoditas utama dunia, seperti minyak dan juga produk-produk pertanian, tak pelak telah menyeret perekonomian Indonesia menuju tren yang negatif. Tanda-tanda kemerosotan sudah dapat dilihat dari tren turunnya konsumsi masyarakat sebagai konsekuensi dari tergerusnya daya beli.

Fragmen ini akan menjadi wajar tatkala pergerakan struktur ekonomi domestik berjalan selaras dengan lingkup tren dunia, menjadi hal yang tidak wajar jika yang berlaku adalah sebaliknya. Coba tengok saja nilai rupiah. Di tengah kampanye positif The Fed yang memangkas suku bunganya hingga menyentuh level 2,25 persen, rupiah sepertinya masih enggan untuk beranjak dari level Rp 9.100 per dolar AS.

Ini sebuah anomali yang aneh mengingat rentang suku bunga antara BI rate dan Fed rate sudah sedemikian lebar. Hal ini seharusnya menjadi insentif bagi para pemodal, setidaknya jangka pendek, untuk kembali mengguyur pasar Indonesia dengan arus capital inflow yang masif. Hal ini pada gilirannya diharapkan mengungkit nilai rupiah ke level yang lebih tinggi.

Apa pasal? Kata kuncinya adalah ekspektasi dengan pasar masih memiliki ekspektasi yang negatif terhadap rupiah. Sebuah cerita lama terpaksa dikuak kembali, permasalahan mengenai decoupling effect yang terjadi antara sektor riil dan finansial yang belum terpecahkan hingga kini.

Kenyataan ini berkontribusi terhadap lemahnya fundamental perekonomian Indonesia sehingga wajar saja bila pasar masih belum memberikan kepercayaan secara penuh. Satu hal yang patut kita perhatikan adalah alasan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Selain karena fundamental ekonomi yang kuat, adalah ekspektasi mereka mengenai potensi keuntungan yang besar. Gap antara harga saham dan kinerja emiten yang cukup besar sebenarnya bisa diartikan bahwa pelaku pasar mengekspektasikan bahwa adanya peningkatan kinerja emiten pada masa mendatang sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang stabil pada masa mendatang.

Dengan kata lain proses decoupling antara sektor riil dan finansial tidak semata-mata dinisbatkan sebagai aksi gelembung spekulatif. Akan tetapi, lebih ke arah aksi gelembung rasional (rational economic bubble).

Investor cenderung mengekspektasikan kebangkitan sektor riil untuk menopang keberlangsungan dari sektor finansial. Akan menjadi masalah yang besar jika ekspektasi ini tidak dapat dipenuhi oleh para pembuat kebijakan. Sedihnya, hal dasar inilah yang kemudian absen dari struktur perekonomian nasional.

Pembentukan ekspektasi semakin terpuruk menuju titik nadir dengan berlarut-larutnya kasus penyidikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan para pejabat di Bank Indonesia (BI). Kredibilitas dalam kasus ini menjadi taruhannya, sebuah pertaruhan yang teramat riskan mengingat faktor kredibilitas ini berfungsi sebagai simbol penggerak pasar.

Solusi jangka panjang


Upaya untuk mengembalikan perekonomian Indonesia ke dalam jalurnya bukannya tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, belum secara efektif dilaksanakan. Prinsip di balik penyusunan kerangka kerja makroekonomi yang baik dan benar adalah kredibilitas, fleksibilitas, dan legitimasi politik.

Peraturan dapat memunculkan kredibilitas jika peraturan itu merupakan sebuah peraturan yang sudah dikenal luas dan dipahami oleh masyarakat. Dengan adanya kredibilitas, maka akan menjadi lebih mudah untuk mengatasi gejolak ekonomi dengan instrumen kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas ekonomi.

Kredibilitas juga dapat menjadi lebih baik ketika terdapat kerangka kerja yang transparan dan accountable yang pada akhirnya dapat memperkuat legitimasi politik. Kebijakan yang baik muncul apabila pembuat kebijakan dan institusi pembuat kebijakan mempunyai kemampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap terjadinya gejolak ekonomi yang tidak terduga.

Pembuat kebijakan yang kredibel adalah pembuat kebijakan yang dalam membuat kebijakannya memperhatikan faktor transparansi kebijakan. Dengan tingginya tingkat transparansi kebijakan, maka gejolak ekonomi yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi.

Tanpa adanya transparansi, kebijakan mengenai target ekonomi dan peraturan fiskal menjadi tidak berguna karena publik tidak dapat membandingkan antara target dan realisasi. Dengan demikian, dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan dalam perekonomian. Pada praktiknya, transparansi ini diwujudkan oleh pembuat kebijakan dengan memublikasikan analisis mengenai prospek ekonomi masa depan dan juga analisis kebijakan ekonomi yang telah dibuat pada periode sebelumnya.

Akuntabilitas menjadi suatu pendukung yang penting terhadap terwujudnya transparansi. Dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya akan muncul legitimasi politik yang kuat. Lebih lanjut, legitimasi politik menjadi penting karena kebijakan-kebijakan yang dibuat harus merefleksikan sebuah konsensus nasional. Kondisi balance of power dan juga tanggung jawab yang ada, pada akhirnya dapat mengurangi dampak buruk dari kurang terkoordinasinya kebijakan.

Ikhtisar:


- Kebangkitan sektor riil akan menopang keberlangsungan sektor finansial. - Ada gejala aneh pada perekonomian Indonesia dibanding tren global.

Do Not Cut The BI Rate!

There are two opposing sides regarding the issue of BI rate. The first group views that the BI rate has to be cut in order to stimulate people’s consumption in which could lead to a more sound and sustainable economic growth. On the other hand, the other group sees that the BI rate has to be maintained in its present condition or even leverage it in to a higher rate so that it could guard the Rupiah’s value since. Moreover, they also believe that the muscular value of Rupiah could have a positive contribution to the target of inflation in 2008. As for me, in a normal situation I would rather sided with the first party but upon seeing what has happened now in the global financial crisis, I prefer to team up with the later.

Two or three years ago, the first choice which is to cut the BI rate, seems to be a very rational choice to be made. With the impoverishment of people’s purchasing power as a consequence from a high level of inflation rate, cutting the BI rate was considered to be effective according to some pundits. But, at that time, the central bank was very eager to cut its rate in order to cope with the high level of inflation rate. A choice which then was proven to be wrong since it was only made things worse. It is true that the interest rate has functioned as a tool to control inflation, but it was important to be noted that the high level of inflation in 2005 was caused by the major shrinkage in the production capacity. In other word, the inflationary episode was caused by the cost push inflation characteristics.

On the other hand, the Inflation targeting framework from which the central bank holds on to, will only work in a situation in which the inflation is caused by the demand pull inflation characteristic. Thus, the result can be easily guessed, the people’s purchasing power was even more devastated while leaving the real economic sector into a major slump and near to death condition.

The collapse of the real economic sector at that time could be seen through the described data. Take a look at the data; the growth of manufacturing industries has only grown to 7.9 percents in 2004 and 5.9 percents in 2005 which was below the average target of 8.59 percents per year. Thus, the major concern came from the decreasing trend of growth. On the other hand, on the labor absorbency side, in the year of 2004, the manufacturing sector only absorbs 13 thousands worker, which was below the average target of 528 thousands worker per year.

Another example was the garment industries; this sector has a major decreasing trend as a consequence of the high energy cost, the selling price of the garment products was steadily decreasing around 5 up to 10 percents a year while the operational cost was also steadily increasing around 10 percents a year. Not to mention the companies that could not grasp the international market opportunities as a consequence of the lacking of working capital. Electronic industries could also be seen as another example; this sector could no longer stay in the business not only because of the decrease in the people’s purchasing power but also because it could not compete with the cheap imported products.

Alas, the condition in two or three years ago was very much different with the present. The option to cut the BI rate is no longer considered to be an effective choice. The central bank must not always go along with the fed policy. The massive cutting which was applied by the fed to its interest rate is considered to be an emergency policy coping with the global imbalance in the financial sector. To take the same procedure like the fed is very risky since the rupiah had a very grim history in coping with this kind of stuff. Amid the storm in the financial sector, the weak fundamental factors that constitute the Rupiah’s value have to be taken into account.

There will be a basic problem arising from the policy to raise the BI rate which is the target of economic growth. A problem that is objectively raised since the high level of interest rate could impede the consumption rate which would only hamper the phase of economic growth. Employing the global financial crises variable, I made a simulation that try to seek the relationship between the interest rate, the exchange rate and also the economic growth. This simulation used a vector auto regression technique which was developed by Christopher Sims in 1980.

In this simulation I found that every policy attempting to increase the interest rate was proved to have a negative impact to the economic growth. But this impact would not prolong, it only took one quarter of a year. For the forthcoming periods, the Rupiah’s appreciation, as an output from the rise in interest rate, would give positive contribution to the economic growth. This contribution eventually could be more than just to offset the negative impact which was initially taken place in the first period since it has bigger coefficient factor to contribute the economic growth. One thing to be noted, this sequence of condition is only true if and only if the interest rate leverage is below 1 percentage point

The mechanism is quite rational; the increasing level of interest rate would impede not only the aggregate demand but also the export projection. These factors would obstruct the phase of economic growth in the first quarter. But in the following periods, along with the Rupiah’s appreciation, the aggregate demand would be more than doubled since the effect of imported inflation was gradually diminished. On the other side, the export growth had also had the retrieving trend. This is Based on the fact that more than a half of export products have a massive dependency from the import components so that the Rupiah’s appreciation would lead to decrease in the cost of production. These factors would undoubtedly underwrite the economic growth for the forthcoming periods.

To wrap things up, I would say that the previous mistake should be considered as a factor to comprise the future policy. Furthermore, the policy makers should have enough credibility to diminish all of the mistakes that have been done before. With credibility, any economic turbulence could be easily tackled with the given policy instruments.

Thursday, March 27, 2008

No country for old men

I was roaming around the news on the web when I was suddenly stunt by this shocking fact. We know that Indonesian policymakers are now being hustled and bustled by the year on year Inflation target of 6.5 percent. And we also now that it would become a very hard-hitting job since the year on year inflation rate on February has mounted up to 7.4 percentage points.

But the condition which I found on Zimbabwe was hilarious, it's way beyond imagination. A 100.000 percentage point of year on year Inflation rate, oh gosh. There is a massive gap between the amount of money and goods being circulated, a typical situation for a poor country but alas it is still very shocking.

This gloomy description desolately contributes to the decrease in the total well being. It was reported that the average life expectancy rate for this country is ranging only from 34-37 years old. Well then, it reminds me of an Academy award winner movie entitled "No country for Old Men"

Wednesday, March 26, 2008

Governing The Market's Expectation

Not without notice, we have stepped our feet in the first quarter of year 2008. In this relatively short time, public have experienced many things in which they hold their breaths for. A grim shadow of the upcoming crisis continues to haunt every possible action as a consequence from the series of episode which always genial to the world. The subprime mortgage crises in The United States which then be complemented by the oil crises have functioned as a catalyst for numbness. With these precedent facts, a dingy description entitled the economic crises has potentially formed a negative expectation from the market. A dismal measure if which being prolonged could confirm the expectation. A prompt movement from the government is a necessary condition to cope with the confusion. An institutional duty which then be complemented by effective coordination and communication with other stakeholders like the Bank of Indonesia (BI), the Parliament and also the market.

Turbulence lead Stagnation

The contraction of the world’s economic capacity which are lead by the impediment of the United States’ economic growth and the rising of price from the world’s major commodity like oil and agricultural products have indeed pulled the Indonesian economic situation into a negative trend. The signals of slump could be noticed from the downward trend of public consumption as a consequence from the purchasing power impoverishment. This fragment would become natural if the movement of domestic economic structure came linearly with the global trend but it would become unnatural when it serves the opposite.

Take a look at Rupiah’s value, amid the positive campaign from the fed that cuts its interest rate to the very low level of 2,25 percent, the rupiah still look very sluggish to adjust from its initial level. An anomaly since the spread of the interest rate between BI rate and Fed rate has broaden in a way that it could act as an incentive to the fund owners to flood the Indonesian market with massive capital inflows which in turn make a leverage to the rupiah.

So, what is the problem actually? The keyword is expectation, in which the market still has negative expectation to the rupiah. An old story come to be retold, a story about decoupling effect which happens between the real economic sector and the financial sector, a story that still has not found the end. This fact contributes to the fragility of Indonesian economic base in which leads to the market distrust. One thing that should be noted is that the reason to invest in Indonesia, aside from the strong economic base, is because of the expectation from the investors to have future economic gains. The gap between the price of the stock and the issuance company performance could be seen as the positive expectation from them who prospect the increasing performance of the company, so that they could experience a stable profit in the future. In other words, the decoupling process between the real and financial sector should be seen as a rational economic bubble instead of a speculative one. The investors tend to expect the improvement of the real economic sector which can bring the sustainability of in the financial sector. Problem would arise if this expectation could not be fulfilled by the policy makers. Well, it happens now!

The expectation forming continues to become worsen with the prolonged case of BI’s Liquidity Assistance (BLBI) which involves BI’s high ranking officer. Credibility is at its stake, a very risky bet since credibility functions as a symbol to lead the market.

Long Run Solution for Indonesian Economy

Efforts to bring the Indonesian economy to its path is not like it has never been done before but it has not effectively done. The principles of a good macroeconomic framework are credibility, flexibility and political legitimation. Rule of law could create credibility if the rule is widely known and well understood by the public. With credibility, it will be easier to handle any economic turbulence with the policy instrument that is controlled by the economic authority. Credibility could function more when there is a transparent and an accountable framework in which strengthens political legitimation. Effective policy would merge up if the policy makers have the ability to react promptly in every unprecedented shock.

Credible policy makers are those who make the policy with respect for transparency. With the high level transparency, any economic shock would be easily diminished. Without transparency, every policy with regards to economic target and fiscal rule would become obsolete since the public could not compare between the target and the realization. This could turn into economic imbalances. In the level of practice, transparency could be created by the policy makers by publishing the analyses about future economic prospects and complement it with the analyses from the former economic policies which are conducted in the previous period. Furthermore, accountability could act as a major supporting factor for the transparency establishment. With the presence of accountable policy, a strong political legitimation would then arrive. More over, the political legitimation would become very important since the policies being made should reflect national consensus. This in turn creates balance of power and also general responsibilities which could reduce the negative effect from the uncoordinated policy.

The anomaly

Public couldn't stop groaning upon seeing the anomaly in rupiah's value. It serves mismatch between trends and facts. The fuzziness like this could stumble the efforts to regain sound economic climate. One thing for sure, we need not only economic consensus but also political one.

Tuesday, March 25, 2008

Maafkan Ana Ukhti

Tatkala awan putih berubah kelabu

Rasa di hati mengharu biru

Mencoba tenang tapi tam pak ragu

Seakan ombak yang menderu

Segala rasa berkacemuk di hati

Mencoba mencerna yang tersirat

Dalam pesan yang membuat jantung berdegup

Ditengah gegap dan gagap

Sungguh ukhti, bukan maksud ana untuk menusuk hati

Entah bagaimana ana harus meminta

Semua terasa begitu samar

Semua terasa begitu nanar

Tak kuasa hati ini ukhti

Membereskan yang terserak

Merapikan yang beriak

Menenangkan yang bergejolak

Awan kelabu jakarta kini terasa begitu gelap

Tatkala permintaan maaf ini tak segera ditanggap

Bila permintaan maaf tidaklah cukup

Biarlah rangkaian kata ini menenangkan hati yang sempat terkesiap

Maafkan ana ukhti....

Waktu

Sang waktu pun mulai menapak
mulai menjejak
mulai mengajak

Nurani pun mulai bijak
seiring sang waktu mengajak
untuk menapak
dan menjejak

Merindu

Jauh membuat rindu
Tak ubahnya bagai duri
Setiap saat menghujam hati
Bak pisau tajam diasah

Asa kini menggumpal
Asa kini berkumpul
Memicu ikhtiar
Bergantung doa

Sungguh Robbi
begitu aku mencintainya
cinta dalam dakwah
cinta dalam tautan harokah

Ya robbi
tak kuasa rasa ini
memendam rindu
teringat memori lalu
saat kami memadu

Kuatkanlah hati ini ya robbi
Berjihad dijalanmu
memadu kasih
Mengharap barokah

The Shout out

To the youth

who desire glory

To the Islamic community

who is in uncertainty

and goes astray

To the heir of civilization:

who has carved a remarkable achievement

in the pages of history of human being

To each and every Muslim:

who is convinced of his/her own future

as world leader and happiness seeker

in the after-life.

To all of them

we present this works.

“And fight them until persecution is no more, and religion is for Allah.”