Wednesday, December 24, 2008

Media Published Article

You can find the Article at Republika

Memperkuat Basis Pertumbuhan Ekonomi

Fithra Faisal Hastiadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence dan Staf Pengajar FEUI


Krisis ekonomi global pada 2009 semakin di depan mata. Terlebih, sejumlah langkah penyelamatan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) tidak berjalan mulus. Pekan lalu Senat AS gagal menyepakati bail out senilai 14 miliar dolar AS untuk menyelamatkan tiga raksasa otomotif AS: General Motor, Ford, dan Chrysler.

Sementara itu, program penyelamatan bagi sektor keuangan AS senilai 700 miliar dolar AS yang telah disepakati pada Oktober juga tidak berjalan mulus karena ketatnya persyaratan yang diberikan Kongres AS. Tidak mulusnya program penyelamatan ekonomi AS ini tentunya akan memberikan pengaruh negatif bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Oleh karenanya, bila tidak ada langkah mendasar untuk menyelamatkan basis pertumbuhan ekonomi kita, tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang sudah terjadi pada kuartal ketiga 2008 (yang hanya tumbuh 6,1 persen), tampaknya akan berlanjut pada tahun 2009. Meski BPS belum menerbitkan laporan kinerja ekonomi kuartal keempat 2008, dengan melihat kinerja indikator ekonomi saat ini (ekspor dan inflasi), diperkirakan pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa menyamai level yang dibuat pada kuartal I dan II 2008, yaitu 6,3 persen dan 6,4 persen.

Dengan melihat potensi krisis ini, penguatan basis pertumbuhan ekonomi menjadi hal mutlak untuk dilakukan. Penguatan terutama diperlukan untuk mengompensasi basis-basis pertumbuhan ekonomi yang akan terpukul akibat krisis global ini. Di sini diperlukan kreativitas dari para pembuat kebijakan di negeri ini untuk memanfaatkan setiap peluang bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Reaksi terhadap Krisis
Pihak otoritas sesungguhnya telah melakukan serangkaian tindakan untuk mencegah perluasan dampak krisis ini. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan masih bersifat parsial dan cenderung masih ortodoks.

Sebagai contoh, respons untuk mengantisipasi tingginya inflasi, kebijakan yang diambil masih bertumpu pada kekuatan moneter, yaitu dengan menaikkan BI rate hingga menyentuh 9,5 persen meski akhirnya diturunkan ke level 9,25 persen pada Desember ini. Disebut ortodoks karena tindakan ini hanya berpengaruh terhadap permintaan agregat tanpa adanya sumbangan di sisi penawaran agregat. Efeknya tentu dapat diduga, permintaan agregat mengalami kontraksi yang pada gilirannya mengganjal pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dimengerti mengingat dalam kurun waktu delapan tahun terakhir (2001 sampai sekarang), struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan terbesar.

Ditilik dari sumber permasalahannya, tingginya inflasi disebabkan oleh peredaran uang yang berlebih secara relatif terhadap barang. Jika saja ruang untuk berkreasi sedikit diperluas, kondisi inflasi yang tinggi tentunya dapat diredam dari sisi penawaran, yaitu dengan melakukan ekspansi suplai sehingga gap antara barang dan uang menjadi lebih kecil tanpa harus menaikkan suku bunga. Insentif untuk ekspansi tentunya menjadi domain dari pemerintah sehingga diperlukan koordinasi yang efektif di antara otoritas fiskal dan moneter.

Suplai yang meningkat diiringi dengan perbaikan konsumsi domestik pada gilirannya akan menghasilkan ekonomi yang bertumbuh dengan tingkat inflasi yang manageable. Akan tetapi, dalam konteks analisis kebijakan, tindakan ini hanya bersifat parsial dan hanya memenuhi syarat perlu (necessary condition). Demi memenuhi asas kecukupan (sufficient condition) diperlukan sebuah tindakan yang juga bisa memperbaiki kinerja sektor riil sehingga pertumbuhan ekonomi yang tercapai merupakan pertumbuhan yang memiliki kualitas.

Penguatan sektor riil
Dalam perkembangannya, kinerja sektor riil juga tak luput terkena pengaruh dari krisis di AS dan beberapa negara maju lainnya. Pengaruh tersebut terutama disebabkan oleh melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS dan penurunan order yang berasal pasar tradisional ekspor kita, yaitu AS, Eropa, dan Jepang. Lebih lanjut, kondisi krisis global menimbulkan second round effect berupa melemahnya nilai ekspor neto Indonesia karena penurunan daya beli luar negeri dan semakin mahalnya bahan baku impor akibat pelemahan rupiah.

Kondisi ini pada gilirannya berkontribusi terhadap tren penurunan surplus (ekspor neto) neraca perdagangan Indonesia. Idealnya, komponen ekspor neto memiliki kontribusi yang semakin besar dalam menopang laju PDB sekaligus demi menciptakan kondisi aman pada suplai cadangan devisa.

Akan tetapi, kenyataan berkata lain, kontribusi ekspor neto dalam pembentukan PDB terus mengalami tren penurunan. Pada 2003 kontribusi ekspor neto terhadap pembentukan PDB masih 7,63 persen. Tetapi, pada 2004 kontribusi ekspor neto turun drastis menjadi hanya 4,65 persen.

Kemudian, pada 2005 kontribusi ekspor neto terhadap pembentukan PDB turun lagi menjadi hanya 4,30 persen. Kontribusi ekspor neto dalam pembentukan PDB mengalami kenaikan pada 2006 menjadi 5,40 persen. Namun, pada 2007 kontribusi ekspor neto turun menjadi hanya 4,10 persen.

Sejak 2007 hingga triwulan ketiga 2008 kontribusi ekspor neto sebagai penopang PDB terus mengalami penurunan. Pada triwulan ketiga 2008, kontribusi ekspor neto, bahkan tercatat berkontraksi atau tumbuh negatif sebesar 0,10 persen. Memburuknya ekspor neto tersebut merupakan gambaran bahwa telah terjadi perlambatan kinerja di sektor riil.

Substitusi impor
Mengingat adanya hubungan yang cukup erat antara perkembangan neraca perdagangan dan kinerja sektor riil maka usaha-usaha untuk memperbaiki performa neraca perdagangan akan memiliki kontribusi yang kuat terhadap perbaikan kinerja dari sektor riil. Namun, dalam situasi saat ini selayaknya usaha yang dilakukan perlu difokuskan pada strategi penguatan pasar domestik ketimbang membidik pasar luar negeri. Hal ini sangat rasional, mengingat kinerja ekspor kita mengalami penurunan sebagai akibat melemahnya kinerja perekonomian negara-negara tujuan ekspor.

Dengan pasar domestik yang tumbuh kuat, hal ini dapat mengompensasi penurunan kinerja ekspor kita. Berbicara mengenai pasar domestik tentunya ini menyangkut sisi permintaan agregat. Ditilik dari tinjauan kebijakan yang telah terpapar di atas, peningkatan konsumsi domestik secara relatif memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan meningkatnya impor. Hal ini pada gilirannya akan meminimalkan efek dari surplus neraca perdagangan.

Dengan demikian, kebijakan substitusi impor memegang peranan yang sangat penting untuk menyelesaikan cela ini karena tentunya kita tidak menginginkan usaha yang dilakukan para pemegang kebijakan dalam hal perbaikan konsumsi domestik memilki dampak yang minimal terhadap perbaikan sektor riil.

Ide dari strategi substitusi impor berangkat dari sebuah premis untuk mengurangi pengaruh eksternal terhadap perkembangan ekonomi negara, yaitu dengan menciptakan produk-produk yang sebelumnya diimpor. Melihat dari sejarahnya, kebijakan ini sangat lekat dengan negara-negara yang tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan pasar luar negeri, seperti yang pernah dilakoni oleh negara-negara Amerika Latin pada 1930-an. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, kebijakan ini dirasa efektif untuk mengatasi gejala krisis, sebuah gejala yang kini muncul di Indonesia.

Beberapa keuntungan potensial dari strategi ini berupa menguatnya kinerja dari sektor riil yang ditandai dengan meningkatnya lapangan kerja. Pada gilirannya kebijakan ini diharapkan akan menciptakan sebuah pertumbuhan ekonomi yang bersifat resilient terhadap shock ekonomi global.

Ikhtisar:
- Penguatan basis pertumbuhan ekonomi menjadi mutlak untuk mengatasi krisis.
- Kebijakan substitusi impor memegang peranan yang sangat penting.
- Sektor riil harus mendapat perhatian.

No comments: