Thursday, December 4, 2008

Media Published Article

Bersiap Menghadapi Krisis Ekonomi 2009

Fithra Faisal Hastiadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) & Staf Pengajar FE UI

Tahun 2008 bisa dikatakan sebagai periode yang suram dunia. Betapa tidak, krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang dipicu oleh krisis subprime mortgage pada medio 2006 tampaknya akan terus berlanjut. Celakanya, karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara pasar keuangan AS dan dunia, imbas negatif juga terjadi di negara-negara lain.

Salah satu channel penularan adalah melalui harga saham. Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dolar AS terhadap mata uang euro dan yen. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi AS akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Dampak berikutnya dari penurunan harga saham di negara berkembang adalah adanya pelarian modal ke instrumen yang kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas) sehingga kurs mata uang negara berkembang melemah. Sebagai salah satu negara yang memiliki kaitan dengan ekonomi AS, Indonesia pun tak luput dari keguncangan ini.

Semestinya, Indonesia tidak harus menerima dampak langsung dari krisis di AS karena instrumen keuangan penyebab krisis di AS bukan merupakan komponen dominan di pasar keuangan Indonesia. Akan tetapi, pasar keuangan kita terkena dampak tidak langsung akibat imbas ekspektasi negatif pasar (dampak psikologis), sehingga investor ikut-ikutan panik dan bursa saham tergunjang.

Masih berlanjut
Sejumlah proyeksi yang dilakukan berbagai lembaga menunjukkan bahwa krisis masih akan berlanjut di tahun 2009, bahkan diperkirakan semakin dalam. IMF pada awal November lalu terpaksa merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang baru saja dikeluarkannya pada bulan Oktober 2008.

Revisi IMF didasari pertimbangan karena persoalan ekonomi yang dihadapi dunia saat ini sangat serius sehingga akan mengoreksi capaian pertumbuhan ekonomi global di tahun 2009. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada
2009 hanya akan mencapai 2,2 persen, atau terpangkas 0,8 persen dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Oktober 2008.

Kapan krisis ekonomi global ini akan berakhir? OECD dalam laporan terbarunya pada 25 November lalu memproyeksikan hal yang sama dengan IMF. Intinya, pada 2009 bisa dikatakan bahwa perekonomian dunia akan mencapai titik terendah dan diperkirakan baru akan rebound tercepat pada 2010. Dengan melihat spektrum krisis global saat ini, yang harus kita perhatikan adalah kesiapan kita menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di tahun 2009.

Terkait dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang dapat dicermati untuk menunjukkan kesiapan kita. Pertama, fundamental perekonomian domestik. Secara umum dan objektif dapat dikatakan bahwa hingga kuartal III 2008 fundamental ekonomi Indonesia masih mengindikasikan bagi kita untuk optimistis.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia menembus 6,3 persen pada 2007. Laju pertumbuhan ekonomi ini terus dipertahankan, bahkan di kuartal II 2008 mencapai
6,4 persen meski menurun lagi pada kuartal III 2008 menjadi 6,1 persen. Pencapaian
ini lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi negara ASEAN lainnya.

Kedua, pada Oktober 2008 lalu kecukupan cadangan devisa kita mencapai 57 miliar dolar AS meski kembali turun menjadi 51 miliar dolar AS pada November 2008. Begitu juga dengan kondisi sektor perbankan. Meski sempat krisis likuiditas pada pertengahan 2008 serta adanya pengambilalihan Bank Century oleh pemerintah belum lama ini, secara umum seluruh indikator perbankan menunjukkan kondisi yang positif.

Ketiga, demikian juga dengan inflasi. Meskipun inflasi tahunan berada di level 11- 12 persen, menurut penulis hal itu masih wajar karena terdapat administered inflation yang tidak bisa dihindari. Dengan melihat beberapa indikator di atas kita sesungguhnya memiliki bekal yang cukup baik untuk menghadapi kondisi ekonomi pada 2009.

Ekonomi Indonesia seharusnya memang lebih resilient terhadap gejolak faktor eksternal dibandingkan dengan negara-negara lain. Terlebih lagi, struktur ekonomi kita sesungguhnya tidak terlalu bergantung pada aspek eksternal (ekspor), tetapi lebih ditopang oleh faktor domestik terutama dari konsumsi masyarakat.

Restrukturisasi utang
Meski demikian, mengingat proyeksi perekonomian global pada 2009 yang begitu buruk, tampaknya kita masih harus mempersiapkan bekal yang lebih dari yang kita miliki saat ini. Terlebih lagi, beberapa indikator ekonomi saat ini telah menunjukkan gejala penurunan, seperti yang ditunjukkan oleh capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2008 dan cadangan devisa pada November.

Oleh karenanya, tidak berlebihan bila ada pihak yang mengatakan bahwa dampak krisis global yang sesungguhnya baru terjadi pada bulan-bulan ini dan bulan-bulan mendatang pada 2009. Pertanyaannya, lalu apa yang perlu dilakukan agar kita bisa survival atau bahkan ofensif dalam menghadapi kemungkinan krisis global di tahun 2009 nanti?

Kita tetap merasa perlu menjaga kinerja industri yang bergerak di sektor eksternal (ekspor). Kenapa? Krisis saat ini berbeda dengan krisis kita pada tahun 1998. Waktu itu, meski kurs rupiah kita berada di level yang sangat rendah (sehingga memukul industri manufaktur), kita bisa menikmati windfall profit dari ekspor komoditas primer seperti pertanian dan perkebunan. Dengan demikian tidak mengherankan bila pengusaha di sektor perkebunan (CPO, cokelat, karet) di daerah waktu itu memperoleh keuntungan berlipat dari ekspor akibat tingginya harga dan depresiasi kurs rupiah.

Kondisi saat itu berbalik total dengan kondisi saat ini. Rendahnya harga komoditas primer serta berkurangnya order dari negara maju (AS dan Eropa) menyebabkan kita tidak bisa mengambil keuntungan dari kejatuhan kurs rupiah yang kini berada di level Rp 12 ribuan. Di sisi lain, melemahnya kurs rupiah telah memukul industri
manufaktur karena tingginya komponen biaya impor. Padahal, sektor-sektor yang
menopang ekspor ini telah menjadi penopang bagi jutaan tenaga kerja sehingga
bisa dibayangkan berapa banyak PHK yang akan terjadi bila kinerja ekspor terpuruk.

IEI melihat bahwa upaya mengembalikan kurs rupiah di level Rp 9.000-an per dolar AS adalah menjadi hal yang penting. Salah satu strategi yang disarankan adalah pemerintah perlu secepatnya melakukan debt resolution dengan melakukan restrukturisasi pinjaman luar negeri (PLN), baik pemerintah dan swasta, yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini untuk mengurangi tekanan permintaan dolar AS.

Hingga kuartal III 2008, jumlah pembayaran pokok dan bunga PLN kita telah mencapai 32,4 miliar dolar AS, terutama PLN dari swasta dan perbankan. Tingginya pembayaran PLN menjadi salah satu penyebab tingginya demand valas sehingga menekan kurs rupiah.

Tentunya, langkah debt resolution bukanlah satu-satunya cara memperkuat ketahanan ekonomi kita dari krisis. IEI juga mengusulkan agar pemerintah melakukan kebijakan kontrol devisa untuk mencegah terjadinya aksi capital outflow yang tidak didasari oleh underlying transaction yang jelas.

Tak kalah penting, di tengah melemahnya permintaan dari pasar luar negeri, penguatan dari sisi domestik (permintaan dan suplai) menjadi sangat penting. Oleh
karenanya, beragam kebijakan yang berorientasi pada pemanfaatan produk lokal
serta peningkatan daya beli masyarakat menjadi penting. Di sini instrumen fiskal memegang peran sentral untuk menggerakkan roda perekonomian domestik.

Tentunya kita berharap proyeksi krisis ekonomi global pada 2009 tidak sesuram yang kita bayangkan. Meski demikian, tidak ada salahnya bila kita mempersiapkan diri dalam menghadapi skenario terburuk agar kita terhindar dari dampak krisis yang lebih parah. Bahkan, kita berharap pada 2009 akan menjadi titik balik bagi perekonomian nasional.

Ikhtisar:
- Beberapa lembaga perekonomian dan analisis memperkirakan perekonomian dunia akan mencapai titik terendah pada 2009.
- Berbeda dengan krisis sebelumnya, harga komoditas Indonesia jatuh karena berkurangnya order dari negara maju.

This article was posted in December 1st 2008 on Republika

2 comments:

Andri Faisal said...

memang krisis akan menghantam indonesia. tetapi ada segi possitif yang saya bisa lihat yakni harga pangan dan minyak yang cenderung menurun. faktor ini tentu saja sedikit banyak membantu perekonomian. apakah pendapat saya dapat dibenarkan?

fithra faisal hastiadi said...

Semua itu relatif, tergantung bagaimana cara kita memandang. dari setiap kesulitan pasti ada kemudahan.