Tuesday, April 1, 2008

Media Published Article

This is the Indonesian version from the previous post entitled "Governing the Market's Expectation" You can see the original post in republika

Menatap Kinerja Perekonomian

Oleh :

Fithra Faisal Hastiadi


Staf Pengajar FE Universitas Indonesia Kandidat Master dari School of Media and Governance Keio University Japan

Tak terasa kita sudah menjejak dalam triwulan pertama 2008. Singkat memang dalam ukuran waktu, tetapi sudah banyak frame cerita yang membuat publik banyak menahan napasnya. Bayangan akan adanya sebuah krisis lanjutan menjadi momok yang terus bergelayut dalam benak sebagai konsekuensi dari rentetan peristiwa negatif yang terus mengakrabi dunia.

Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang kemudian dilengkapi dengan krisis minyak dan beberapa komoditas utama dunia telah bertindak sebagai katalis pembentuk kelimbungan. Dengan fakta yang demikian, sebuah gambaran suram yang bertajukkan krisis ekonomi tentu sangat berpotensi membentuk ekspektasi negatif dari pasar.

Ini sebuah hal yang jika dibiarkan berlarut-larut akan mensahihkan ekspektasi yang terbentuk. Gerakan sigap dari pemerintah merupakan sebuah syarat untuk mengatasi kelimbungan. Sebuah peranan institusional yang kemudian dicukupkan dengan komunikasi dan kerja sama yang efektif dengan para stakeholder lainnya, seperti Bank Indonesia, DPR, dan juga pelaku pasar.

Gejolak pendorong stagnasi


Mengerutnya kapasitas ekonomi dunia yang dikomandoi oleh tertahannya laju perekonomian Amerika Serikat dan juga naiknya harga-harga komoditas utama dunia, seperti minyak dan juga produk-produk pertanian, tak pelak telah menyeret perekonomian Indonesia menuju tren yang negatif. Tanda-tanda kemerosotan sudah dapat dilihat dari tren turunnya konsumsi masyarakat sebagai konsekuensi dari tergerusnya daya beli.

Fragmen ini akan menjadi wajar tatkala pergerakan struktur ekonomi domestik berjalan selaras dengan lingkup tren dunia, menjadi hal yang tidak wajar jika yang berlaku adalah sebaliknya. Coba tengok saja nilai rupiah. Di tengah kampanye positif The Fed yang memangkas suku bunganya hingga menyentuh level 2,25 persen, rupiah sepertinya masih enggan untuk beranjak dari level Rp 9.100 per dolar AS.

Ini sebuah anomali yang aneh mengingat rentang suku bunga antara BI rate dan Fed rate sudah sedemikian lebar. Hal ini seharusnya menjadi insentif bagi para pemodal, setidaknya jangka pendek, untuk kembali mengguyur pasar Indonesia dengan arus capital inflow yang masif. Hal ini pada gilirannya diharapkan mengungkit nilai rupiah ke level yang lebih tinggi.

Apa pasal? Kata kuncinya adalah ekspektasi dengan pasar masih memiliki ekspektasi yang negatif terhadap rupiah. Sebuah cerita lama terpaksa dikuak kembali, permasalahan mengenai decoupling effect yang terjadi antara sektor riil dan finansial yang belum terpecahkan hingga kini.

Kenyataan ini berkontribusi terhadap lemahnya fundamental perekonomian Indonesia sehingga wajar saja bila pasar masih belum memberikan kepercayaan secara penuh. Satu hal yang patut kita perhatikan adalah alasan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Selain karena fundamental ekonomi yang kuat, adalah ekspektasi mereka mengenai potensi keuntungan yang besar. Gap antara harga saham dan kinerja emiten yang cukup besar sebenarnya bisa diartikan bahwa pelaku pasar mengekspektasikan bahwa adanya peningkatan kinerja emiten pada masa mendatang sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang stabil pada masa mendatang.

Dengan kata lain proses decoupling antara sektor riil dan finansial tidak semata-mata dinisbatkan sebagai aksi gelembung spekulatif. Akan tetapi, lebih ke arah aksi gelembung rasional (rational economic bubble).

Investor cenderung mengekspektasikan kebangkitan sektor riil untuk menopang keberlangsungan dari sektor finansial. Akan menjadi masalah yang besar jika ekspektasi ini tidak dapat dipenuhi oleh para pembuat kebijakan. Sedihnya, hal dasar inilah yang kemudian absen dari struktur perekonomian nasional.

Pembentukan ekspektasi semakin terpuruk menuju titik nadir dengan berlarut-larutnya kasus penyidikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan para pejabat di Bank Indonesia (BI). Kredibilitas dalam kasus ini menjadi taruhannya, sebuah pertaruhan yang teramat riskan mengingat faktor kredibilitas ini berfungsi sebagai simbol penggerak pasar.

Solusi jangka panjang


Upaya untuk mengembalikan perekonomian Indonesia ke dalam jalurnya bukannya tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, belum secara efektif dilaksanakan. Prinsip di balik penyusunan kerangka kerja makroekonomi yang baik dan benar adalah kredibilitas, fleksibilitas, dan legitimasi politik.

Peraturan dapat memunculkan kredibilitas jika peraturan itu merupakan sebuah peraturan yang sudah dikenal luas dan dipahami oleh masyarakat. Dengan adanya kredibilitas, maka akan menjadi lebih mudah untuk mengatasi gejolak ekonomi dengan instrumen kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas ekonomi.

Kredibilitas juga dapat menjadi lebih baik ketika terdapat kerangka kerja yang transparan dan accountable yang pada akhirnya dapat memperkuat legitimasi politik. Kebijakan yang baik muncul apabila pembuat kebijakan dan institusi pembuat kebijakan mempunyai kemampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap terjadinya gejolak ekonomi yang tidak terduga.

Pembuat kebijakan yang kredibel adalah pembuat kebijakan yang dalam membuat kebijakannya memperhatikan faktor transparansi kebijakan. Dengan tingginya tingkat transparansi kebijakan, maka gejolak ekonomi yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi.

Tanpa adanya transparansi, kebijakan mengenai target ekonomi dan peraturan fiskal menjadi tidak berguna karena publik tidak dapat membandingkan antara target dan realisasi. Dengan demikian, dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan dalam perekonomian. Pada praktiknya, transparansi ini diwujudkan oleh pembuat kebijakan dengan memublikasikan analisis mengenai prospek ekonomi masa depan dan juga analisis kebijakan ekonomi yang telah dibuat pada periode sebelumnya.

Akuntabilitas menjadi suatu pendukung yang penting terhadap terwujudnya transparansi. Dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya akan muncul legitimasi politik yang kuat. Lebih lanjut, legitimasi politik menjadi penting karena kebijakan-kebijakan yang dibuat harus merefleksikan sebuah konsensus nasional. Kondisi balance of power dan juga tanggung jawab yang ada, pada akhirnya dapat mengurangi dampak buruk dari kurang terkoordinasinya kebijakan.

Ikhtisar:


- Kebangkitan sektor riil akan menopang keberlangsungan sektor finansial. - Ada gejala aneh pada perekonomian Indonesia dibanding tren global.

3 comments:

Rajawali Muda said...

quote : "permasalahan mengenai decoupling effect yang terjadi antara sektor riil dan finansial yang belum terpecahkan hingga kini"
it seems to me that cyriluss Harinowo has different prespective about this
http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id52665.html

fithra faisal hastiadi said...
This comment has been removed by the author.
fithra faisal hastiadi said...

Yes, CH was right. Not to mention that he always sided with the optimist wing.

But you see, when I said the story still has not found the end, the decoupling effect, I mean that the gap is still huge. Yes, I won't deny that we have already experiencing the rise in the purchasing power, but on the other hand the financial sector still goes into bubble.

We need to focus on the real sector since it has slow adaptation towards policy. It has an inertia momentum, a lag, a delay. When we experienced the economic crisis back in 1998, the real economic sector was proven to be the solid rock of our present recovery, because the crisis didn't affect it significantly since it has the delaying capacity. It was very much different with the financial sector which had a hard landing.

Since then, the government focus on the financial sector, leaving the real sector as a step child. And yes, the financial sector due to its absence to lag, has grown enormously. When the government realized that they were making mistake, finally they try to have an impetus on the real sector. But again, due to its delaying capacity, the real sector has only adjusted sluggishly.

As for your concern, I only said that the decoupling effect still presence without overlooking any improvement in the real economic sector