This is the Indonesian post from the previous article entitled "Optimizing The Trickle Down Effect Policy 1 and 2" you can see the original post at Media indonesia
Mengoptimalkan Kebijakan Trickle Down Effect
Pelbagai diskursus mengenai kebijakan trickle down effect seakan menjurus pada sebuah stigma yang diamini secara bersama-sama. Setiap topik atau bahasan mengenai prinsip trickle down effect mesti berujung pada sikap penghakiman yang berat sebelah. Pengusung kebijakan ini mungkin akan menjadi sasaran empuk para penganut paham post development untuk dihakimi secara membabi buta. Segala ungkapan bernuansa celaan semisal pro status quo hingga anti rakyat menjadi santapan sehari-hari. Perlakuan ini mungkin sebuah justifikasi yang cukup rasional mengingat sejarah telah bercerita mengenai gagalnya kebijakan ini dalam mengangkat kesejahteraan rakyat banyak. Sebab, alih-alih meratakan pendapatan, yang terjadi justru penumpukan modal pada satu kelompok elite yang biasa kita kenal sebagai para konglomerat. Karena itu, tidaklah salah jika kemudian kebijakan trickle down effect ini lebih dikenal sebagai kebijakan konglomerasi. Ungkapan ini kemudian lebih sering diposisikan sebagai istilah politis yang bernuansa retoris. Upaya penggiringan opini menjadi sesuatu yang sah selama hal itu ditunjang oleh bukti yang sahih. Adalah upaya penyesatan jika usaha untuk menggiring publik lebih didasari emosi yang membuncah.
Prinsip kebijakan
Kebijakan trickle down effect pada prinsipnya merupakan kebijakan yang memosisikan para kaum berpunya sebagai kelas yang diutamakan dalam hal menggerakkan perekonomian suatu bangsa. Dengan dibukanya akses dan pendanaan secara menyeluruh terhadap segala aktivitas maka investasi domestik diharapkan akan berjalan dan berlipat dengan semakin gencarnya fokus pada sektor bisnis infrastruktur serta pasar keuangan. Dengan demikian, pada gilirannya skema ini akan menciptakan sebuah struktur kapasitas produksi yang meningkat. Produksi yang menggeliat akan menggiring harga-harga pada tingkat yang lebih rendah dan menciptakan lapangan kerja untuk para kelas menengah dan menengah ke bawah.
Skema ini berjalan dalam sebuah ide dasar, pendapatan (income) dapat difungsikan melalui tiga jalur utama yaitu pajak, permintaan domestik, dan tabungan. Pemberdayaan pendapatan melalui sektor pajak tentu akan menggeliatkan sektor investasi publik. Investasi publik ini bisa berupa pengembangan kegiatan pariwisata, pembangunan infrastruktur (jalan raya, pelabuhan, dan kelistrikan), investasi sektor pertanian (pembukaan jalur irigasi terpadu dan mekanisasi), serta investasi pada pengembangan sumber daya atau energi alternatif. Investasi pada sektor-sektor ini tentunya akan menarik para investor baik domestik maupun asing untuk ikut berperan serta dalam pembangunan mengingat daya tarik dari lokasi industri yang sudah dipenuhi oleh berbagai fasilitas yang mendukung kelancaran berbisnis. Geliat industri-industri utama pada akhirnya akan memberikan sumbangsih positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu dari sisi yang lain, meningkatnya pendapatan akan menaikkan proporsi permintaan domestik yang dapat berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berjalan alami sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa sektor konsumsi merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir. Jalur pemberdayaan terakhir adalah melalui tabungan. Meningkatnya pendapatan akan memperbesar proporsi pendapatan yang dapat ditabung. Dana dalam tabungan kemudian dapat difungsikan melalui sistem perbankan nasional untuk kemudian disalurkan bagi kebutuhan investasi swasta. Peningkatan investasi swasta diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai skema yang dijalankannya. Sebagai kesimpulan, mekanisme transmisi ini tentunya mengisyaratkan bahwa injeksi yang diberikan terhadap kelompok menengah ke atas mampu memberikan dorongan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang menetes ke bawah, yaitu pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan dinikmati secara luas oleh masyarakat.
Disfungsi kebijakan
Dengan skema ideal sebagaimana telah dijabarkan di atas, kebijakan trickle down effect dalam implementasinya seakan bertempat pada posisi yang tidak semestinya. Bermacam penelitian yang ditujukan untuk menganalisis akar permasalahan tak kunjung mendapati jawaban yang memadai. Vonis yang ada pun terkesan salah alamat, korupsi dianggap menjadi biang keladi dan menjadi sumber pengisapan yang berlaku trickle up dan ditahbiskan sebagai paradoks pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang eksklusif, yang berakibat pada melebarnya jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Korupsi memang melanggar batas norma, sebagaimana korupsi memang memuakkan. Premis ini berujung pada kesimpulan bahwa korupsi mengerdilkan pembangunan. Anggapan ini boleh jadi benar apabila hasil korupsi mengalir ke luar negeri. Tetapi, akan beda hasilnya jika harta hasil korupsi diinvestasikan ke dalam negeri. Hal ini sejalan dengan asumsi yang telah dijabarkan panjang lebar di atas mengenai skema ide trickle down effect yaitu investasi domestik. Dalam skala yang ekstrem dapat dikatakan bahwa pelaku megakorupsi tidak akan merugikan negara selama mereka menginvestasikan hasil “kejahatan kemanusiaan” ini di dalam negeri sebab dengan demikian skema trickle down effect yang ideal akan berjalan. Hal ini tentunya bukan untuk menjustifikasi perbuatan korupsi karena secara moral korupsi merupakan perbuatan laknat yang patut mendapat ganjaran yang paling kejam. Akan tetapi, pemberantasan korupsi masih dinilai sebagai perbuatan revolusioner dan penuh perhitungan politik. Pertanyaannya adalah, seberapa lama sustainabilitas dari pembangunan ekonomi akan bertahan di tengah ketidakpastian politik? Sebuah ungkapan kesohor dari ekonom kenamaan Inggris John Maynard Keynes kiranya bisa dilatarkan: how long is the long run? In the long run we are all dead.
Solusi yang optimal untuk membarikade dana-dana yang beredar di dalam negeri untuk tidak lari lantas kemudian hilang adalah melalui sistem insentif yang menarik. Tata kelola pemerintahan yang baik adalah jawabannya. Terdapat empat kendala utama yang dianggap menghambat iklim investasi yang kondusif yaitu inefisiensi birokrasi, regulasi ketenagakerjaan dan kepailitan yang kurang menunjang, kurangnya insentif pajak, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung investasi. Rendahnya investasi baru juga disebabkan oleh belum tuntasnya produk hukum, ekonomi biaya tinggi (banyaknya pungutan liar), birokrasi yang panjang, terbatasnya pengeluaran pemerintah dalam menstimulus perekonomian serta terbatasnya pembiayaan perbankan. Di sinilah seharusnya pemerintah berperan.
Oleh Fithra Faisal Hastiadi, Kandidat Master dari School of Media and Governance, Keio University Japan
Friday, June 27, 2008
Media Published Article
Labels:
Perekonomian Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment