Tuesday, March 25, 2008

Pemerintahan Yang Malas

Jelas sudah, tim ekonomi pemerintahan sekarang sudah tidak bisa diharapkan lagi. Ada beberapa premis dari kelakuan pemerintah yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa pemerintah sekarang adalah pemerintahan yang malas. Pertama, kenaikan harga BBM merupakan bentuk akumulasi dari kinerja pemerintahan yang cenderung lamban dan malas. Pengurangan subsidi BBM merupakan sebuah alternatif pengurangan beban anggaran yang paling mudah dilakukan. Saking mudahnya dilakukan, sampai-sampai mahasiswa ekonomi tingkat pertama sekalipun bisa melakukannya. Jadi tidak perlu Doktor bidang ekonomi untuk dapat menghasilkan kebijakan yang jelas-jelas mencerminkan kemalasan pemerintah. Dari dua buah opsi yang ada; i) tidak mengurangi sibsidi BBM yang sebesar Rp 113,7 T dan mempertahankan defisit anggaran terhadap PDB sebesar 1,4%; ii)mengurangi subsidi BBM sehingga subsidi BBM menjadi Rp 89,2 T sementara defisit anggaran terhadap PDB menjadi 0,9%, pemerintah lebih memilih opsi yang kedua yaitu mengurangi subsidi BBM, karena dengan mempertahankan subsidi BBM sebesar Rp 113,7 T maka pemerintah menghadapi financing gap sebesar 1,1% terhadap PDB atau ekuivalen dengan Rp 28,2 T. Pilihan terhadap opsi ini mencerminkan kegagapan pemerintah dalam mengelola kebijakan fiskalnya. Pemerintah beralasan tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk menutupi financing gap tersebut. Sehingga pilihan yang paling menarik (baca: malas) adalah dengan menarik subsidi BBM.

Padahal jika pemerintah berkenan untuk melihat pos pengeluaran lain yang bisa di hemat, seperti dana ABT (Anggaran Biaya Tambahan) dan anggaran biaya untuk kementrian, beban subsidi BBM yang ditarik merupakan sebuah keniscayaan yang dapat terbantahkan. Untuk anggaran kementerian misalnya, melihat realitas bahwa baru 31% anggaran yang telah diserap, maka alangkah bijaknya apabila 69% sisa anggaran tidak dihabiskan dengan serta merta. Karena sangat tidak mungkin untuk menghabiskan sisa anggaran yang begitu besar dalam kurun waktu yang singkat (periode anggaran tahun 2005 berakhir dalam kurun waktu 3 bulan lagi). Apabila pemerintah tetap persistent untuk menghabiskan sisa anggaran ini, maka komitmen pemerintah untuk mengatasi krisis defisit anggaran patut dipertanyakan.

Alternatif lainnya yang tidak kentara oleh pemerintahan sekarang -sebagai solusi dari sebuah krisis anggaran- adalah mengenai kemauan politik pemerintah dalam hal mengatasi masalah obligasi rekap yang tak kunjung usai. Adalah sebuah kemestian bagi pemerintah untuk tidak secara terus-menerus me-ninabobo-kan sistem perbankan nasional. Bank mandiri yang notabene merupakan bank terbesar di Indonesia, sebagian besar asetnya terdiri dari obligasi rekap. Pemerintah, dalam hal ini seakan diperalat oleh bank-bank tersebut. Sementara bank-bank itu menikmati hasil dari obligasi rekap, pada waktu yang sama kondisi anggaran pemerintah digerogoti. Kinerja perbankan nasional pun belum menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, sementara obligasi rekap yang tetanam dalam sistem perbankan nasional merupakan sebuah “fatamorgana” pada besaran aset.

Kebijakan cash transfer yang tidak jelas “juntrungan”nya merupakan bukti yang kedua bahwa pemerintah malas bekerja. Coba pikirkan, bagaimana ceritanya angka Rp 100 ribu per kepala keluarga miskin bisa muncul sebagai besaran kompensasi BBM? Hal ini terlalu menggeneralisasi keadaan dan tidak mencerminkan daya beli (purchasing power) dari masyarakat. Sebuah hal yang tidak bisa disamakan antara daya beli rakyat miskin yang terdapat di wilayah perkotaan dengan yang berada di wilayah pedesaan. Atau jangan-jangan pemerintah terlalu malas untuk melakukan sebuah proses metodologi penelitian yang tepat untuk mendapatkan besaran kompensasi yang jauh lebih tepat.

Sungguh malas benar pemerintah! Celakanya lagi, virus kemalasan pemerintah ini telah menular (contagion effect) ke seantero negeri. Perilaku Bank Indonesia juga ternyata telah tertular oleh virus malas ini. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan BI cenderung bersifat reaktif daripada antisipatif. Kenaikan suku bunga The Fed yang telah terjadi sepanjang tahun ini, terlambat ditanggapai oleh otoritas moneter itu. Walhasil, negara Indonesia hampir saja mengalami krisis nilai tukar untuk yang kedua kalinya. Sebuah puisi dari Taufik Ismail yang terkenal, “Malu Aku Jadi orang Indonesia”, kiranya tepat untuk menggambarkan kualitas bangsa Indonesia dewasa ini.

3 comments:

Rajawali Muda said...

100 ribu itu bukan generalisasi fit, taun 2005 itu buat urban 125 ribu, 100rb buat rural, dari itung2an teknis ini yang paling visible, sayang implementasinya lemah. kenapa nilainya 100 ribu? karena targetnya orang miskin, yang poverty line nya itu sekitar 87-97ribu perak per bulan. itu berarti sektar 100 persen per bulan di tambahin budgetnya.Sayang masyarakat kita gak mau keluar dari comfort zone mereka. di liputan khusus ada penerima BLT, bilang kalo 100ribu sih sehari aja abis, kan ini jadi pertanyaan, kalo dia ngabisin 100 ribu sehari, gajinya 3 juta, lebih gede dari gua dong.

perilaku orang orang ini selain karena masalah organda yang bodoh dan ugal2an itu, juga karena cara berpikir mereka yang pendek, sama kayak pengemis di jalanan kota, gajinya lebih besar dari kita, 2 juta-an dapet sebulan, tapi mereka makan restoran padang, beli rokok, dll.

ini masalah sosiologi perkotaan juga jadi kalo masalah implementasi kata gua, mesti metode yang jelas, tambahan lagi,implikasi sosiologis nya gmana ngasih carrot and stick yang tepat.

masalah kemiskinan ini terlalu kompleks kalo diliat dari masalah BLT atau masalah anggaran doang, masih banyak PR ke depan, cuma memang mesti dimulai sekarang. kalau memang dengan naek BBM yang berulang ulang, Pemerintah harus turun rating nya, so be it! biar presiden berikutnya yang melanjutkan,gua sih berharap presiden nanti bukan orang populis lagi,tapi orang yang realistis.

Kalo gak gua pesimis, mungkin 30 taun lagi juga tetep gak ada perubahan.Generasi 30 taun mendatang bakal tetep generasi yang nyangkul, generasi yang mengemis, generasi yang pikirannya pendek, dan gak punya cita cita.

fithra faisal hastiadi said...

Hmm, secara teknis memang masuk akal, tapi gua dapet insider info, dana yang 100 ribuan itu didapat setelah mencocokkan jumlah orang miskin dengan kapasitas budget pemerintah. Jadi instead of money follows function jadinya function follows money. sim sala bim dapet besaran 100 ribu

Rajawali Muda said...

yah gak ngerti gua politik2nya mah,
yang jelas waktu keluar rekomendasi LPEM, body of knowledege nya gitu. masalah BLT kan cuma satu dari banyak program, mungkin dari sisi budget nya juga itung2an optimal dan alokasi duitnya aja.
skarang gmana ya supaya implementasinya beres,itu domainnya sapa ya? katanya mo dikasih lewat karang taruna, bah,emang karang taruna kagak perlu duit apa? gak ngerti gua solusi pas nya buat implementasi ini.