Tak dapat dipungkiri lagi, Piala AFF 2010 begitu menyihir pala penggila sepak bola di Indonesia. Sihirnya begitu terasa hingga sejenak bisa menghilangkan penat dari pelbagai permasalahan yang sedang hinggap dan membebani pundak. Piala AFF mungkin hanya kejuaraan setingkat ASEAN, tetapi ini bukan sekedar piala, ini adalah sepak bola.
Sepakbola dan Ekonomi
Kesuksesan Timnas memang membawa euforia tersendiri bagi para penggila sepak bola, secara ekonomi hasil positif yang diperoleh Timnas akan berujung pada menggeliatnya perekonomian. Hal ini dipicu oleh meningkatnya produktifitas pekerja yang berangkat dari terpenuhinya utilitas intangible mereka yaitu kebahagiaan seperti yang diungkap oleh Spector (1997) dan Warr (1999). Meskipun pada kenyataanya Euforia yang berlebihan juga dapat berbalik menjadi disforia (gelisah dan sedih) dikala tidak siap menerima kenyataan (Syam, 2010). Ketidakstabilan performa politik di Indonesia pada gilirannya menjadikan kesuksesan Timnas sebagai penentu dominan moral dan perilaku masyarakat dalam menggenjot roda perekonomian selama perhelatan Piala AFF kali ini. Dari sisi laju peredaran uang, pertandingan sepak bola juga membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit. Jika kita hitung perputaran uang dari ticket masuk saja, diperoleh keuntungan yang luar biasa besar. Belum lagi Pendapatan yang di raih PT. KAI untuk perjalanan suporter dari luar Jakarta yang jumlahnya belasan ribuan orang, ditambah lagi penghasilan dari transaksi merchandise atau atribut yang beromzet ratusan juta dalam satu harinya. Sepak bola bukan hanya sebuah gerakan ekonomi tetapi lebih dari itu, sepakbola sudah menjadi bagian dari ekonomi.
Sepakbola dan Politik
Sepakbola adalah sebuah permainan, tetapi di dalamnya politik sayang untuk ditinggalkan. Tengok saja betapa seorang Jenderal Franco yang “menghabisi” perjuangan Barcelona sebagai simbol rakyat catalonia dan meng-anak emaskan real Madrid sebagai simbol pemerintahan yang berkuasa. Perjuangan epic timnas Italia dalam merebut Piala dunia pada tahun 1934 juga tidak lepas dari pengaruh dari campur tangan politik Mussolini yang mengancam menghukum mati pemainnya jika gagal merebut piala dunia kala itu. Sepak bola dalam kaca mata politisi merupakan sebuah komoditas yang dapat melanggengkan kekuasaan, produk yang meningkatkan citra. Berbeda dengan variabel ekonomi, variabel politik disini berperan sebagai variabel bebas dan terikat sekaligus. Artinya, politik dapat mempengaruhi sepakbola begitu juga sebaliknya sepakbola dapat mempengaruhi politik.
Berbekal karakteristik yang demikian, maka politik dalam sepakbola akan selamanya tidak bebas nilai, penuh dengan keculasan, azas aji mumpung dan dipenuhi aksi selebritas para politisi. Ada saatnya memang dominasi politik menguntungkan sebuah tim sepakbola akan tetapi dalam jangka panjang hubungan ini tidak akan berlangsung lama. Tidak ada yang salah dalam sistem retorika ber politik kita akan tetapi sejatinya akan lebih arif jika olahraga milik semua umat dimurnikan dari kepentingan politik dan golongan. Sehingga kata kuncinya adalah sekularisasi Sepakbola dengan politik. Dengan demikian kita dapat menghadirkan sebuah konsep murni berpolitik dalam sepak bola yaitu nasionalisme permainan. Disini kita dapat melihat betapa para pemain bola telah mengajarkan kita sebuah prinsip nasionalisme sesungguhnya. Lihat saja semangat seorang Christian Gonzalez yang “hanya” pemain naturalisasi, setiap mencetak gol,reaksi pertama yang ia lakukan adalah berlari ke arah tribun pendukung Indonesia dan mencium lambang Garuda di dadanya. Tidak ada politik aliran dalam lapangan karena mereka berbaur dalam satu skuad yang terlatih untuk sama-sama memenangkan pertandingan. Di sana tidak ada perbedaan suku, agama, latar belakang sosial. Bagi mereka, kaos berlambang garuda adalah penyatu untuk satu kebanggaan sebagai Indonesia.
Sepakbola adalah Harapan
Gocekan Firman Utina, terobosan seorang Oktovianus Maniani, kesungguhan Mohammad Nasuha, kelihaian Irfan Bachdim tidak hanya penting bagi permainan Timnas melainkan juga membawa misi dan harapan dari seluruh Rakyat Indonesia. Kegemilangan Timnas memang membawa pengaruh luar biasa bagi rakyat, berdiaspora menembus pelbagai elemen kebangsaan. Antiklimaks perjuangan Timnas dalam perjuangannya meraih piala AFF tampaknya belum mampu menyurutkan euforia masyarakat. Alfred riedl pernah mengungkapkan rasa takjubnya terhadap antusiasme supporter Indonesia. "Saya sangat takjub dengan suporter. Dukungan begitu besar datang dari para suporter Indonesia kepada Timnas. Mereka selalu datang ke hotel tempat kami menginap dan mereka juga datang saat kami berada di bandara menuju Malaysia. Saat ini pun, walau kami kalah, mereka tetap datang mendukung kami. Sangat luar biasa," ujarnya dalam sebuah kesempatan. Rakyat sudah terlanjur cinta dengan Timnas, kekalahan melawan Malaysia di leg terakhir fina piala AFF bahkan banyak dinilai sebagai kekalahan yang terhormat. Hal ini tentunya menyiratkan harapan, sebuah harapan untuk kebanggaan akan keberhasilan. Perjalanan kita masih panjang Bung! Segera benahi PSSI, tunaikanlah amanat kongres untuk mereformasi PSSI. Sungguh publik masih sangat haus akan prestasi. Hingga kapan dahaga ini dapat terobati? Hanya waktu yang dapat memberi bukti. Piala Dunia, mungkin bukan lagi mimpi!
Thursday, January 13, 2011
Bukan Sekedar Sepakbola
Labels:
Political Economics
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
sippp gann
mantep gan daftar situs judi bola terpercaya kunjungi juga web ane ya.. thx
Post a Comment