Thursday, September 17, 2009

The Indonesian Economic Development Strategy

In bestselling book Development as Freedom, Amartya Sen warned policy makers not to only use economic growth to create aggregate income. He then suggested that so-called economic growth be used as a means to develop social services for the community.

Subsidies in education, health social safety nets should be set as the main priority in the government long-term plan in which to create sustainability in the area of economic development. This is what Sen called growth-mediated social arrangements.

It is interesting, in this context, to refer to statistical analyses recently presented by scholars that showed life expectancy is not enhanced by the growth of GDP per head but rather tends to correlate with public expenditure on health care.

A more phenomenal case on social expenditure, especially in basic education, can be learned from Japan. It is sometimes forgotten that Japan had a higher rate of literacy than Europe had even at the period of Meiji restoration in the mid-nineteen century, when industrialization had not yet occurred but had gone for ages in Europe.

Japan's economic development was clearly much helped by the human resource advancement related to the social opportunities that were generated. The so-called East Asian Miracle, to some extent, mimics the similar connection.

The aforementioned goal has been basically summarized in the Washington Consensus through some of its points.

The first point is fiscal discipline, which serves as the basic condition in achieving national budget sustainability. Unfortunately the spirit is not followed by most of the ministries and government offices. They tend to raise their budget plan not because of need but out of a desire to have a higher budget than the previous year.

This animal spirit has caused the budget to lose its prudence and become very prone to external shocks. Fiscal discipline serves as the foundation by which we can move to the second point which is public expenditure focus on sectors that can create equal distribution of income.

The sectors are as follows: public infrastructure, health care and primary education. The creation of public access will undoubtedly create the overall community welfare.

Another point is tax reform. The newest general taxation policy (UU KUP) has most likely accommodated this point. One of its achievements is the expansion of tax base. The success story of tax reform is expected to become the dominant actor in offering a high contribution to the budget revenue.

Another important point to note is about liberalization, which covers trade and foreign investment. To some extent, trade is almost synonymous with a country's welfare. Economic welfare is the most notable goal that links in this activity, in other words, trade is the engine of growth.

Over these past few decades we have witnessed the evolution of trade in Indonesia, which has a substantial transformation of trade structures. The vast amount of trade has been very likely steered up by the amount of Foreign Direct Investments (FDI) inflows.

It is clear that FDI is trade-related in nature. With its open and outward-looking economies, Indonesia is highly dependent on foreign investment for its economic growth.

.

Monday, August 17, 2009

Pilihan Kebijakan Ditengah Krisis

Krisis ekonomi yang menjangkiti dunia telah mejadi diskursus yang menarik. Pilihan kebijakan yang efektif menjadi tema yang tak henti-hentinya dibicarakan. Berbicara mengenai kebijakan, otoritas moneter serta fiskal merupakan dua aktor yang memainkan peranan teramat penting. Akan tetapi, dalam hal efektifitas kebijakan, otoritas moneter tampaknya masih lebih unggul dibanding otoritas fiskal. Upaya stimulus fiskal besar-besaran hanya akan berujung pada defisit anggaran yang semakin besar sehingga pada giliranya dapat membebani perekonomian di masa mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yang pertama adalah, defisit fiskal yang memperbesar rasio utang pemerintah akan beresiko untuk menaikkan tingkat suku bunga yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat investasi produktif. Yang kedua, semakin besar obligasi pemerintah yang diterbitkan untuk menutupi defisit anggaran malah akan menciptakan crowding out effect. Oleh karenanya, kebijakan moneter sudah selayaknya menjadi tumpuan diskresi para pembuat kebijakan dalam menjinakkan krisis, sebuah pekerjaan yang jauh dari mudah.

Kebijakan Moneter Ditengah Krisis

Krisis kali ini merupakan hal yang tidak biasa, efeknya hanya bisa ditandingi oleh Great Depression berpuluh tahun lampau. Daya jangkit krisis, yang bermula dari Amerika Serikat, sedemikian besarnya sehingga mampu mengkontrasi pertumbuhan ekonomi di beberapa Negara tak terkecuali Indonesia. Ditahun 2009 ini, krisis sepertinya masih enggan untuk beranjak, sebagaimana dapat dilihat dari kinerja ekspor yang masih jauh dari harapan. Menurut data yang dilansir oleh BPS, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Mei 2009 mencapai US$40,74 miliar atau menurun 29,24 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara ekspor nonmigas mencapai US$35,05 miliar atau menurun 21,19 persen. Melemahnya daya permintaan pasar global serta adalah aktor utama dibalik menukiknya kinerja ekspor.
Sementara itu dari sisi permintaan agregat, data inflasi bulanan bisa dijadikan parameter krisis. dimana pada bulan Januari tahun 2009 terjadi deflasi sebesar 0,07 % yang secara akumulatif hingga bulan Juli 2009 menciptakan inflasi sebesar 0.65%, salah satu yang paling rendah dalam 10 tahun terakhir. Tren ini secara tidak langsung mengindikasikan terkontraksinya permintaan masyarakat. Kondisi ini tentunya cukup mengkhawatirkan mengingat dalam kurun waktu 9 tahun terakhir (2001 – sekarang), struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan terbesar. Pada tahun 2001 misalnya, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 67,32 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara, pada tahun 2002, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan 223 basis points (bps) jika dibandingkan tahun 2001, yakni dari 67,32 persen meningkat menjadi 69,55 persen. Hal yang perlu diketahui, dari tahun 2001 hingga 2004, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB masih berfluktuatif dengan tren terus menaik. Namun, sejak tahun 2008 hingga triwulan pertama tahun 2009, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB terus mengalami tren penurunan.
Dalam upayanya menstimulasi permintaan agregat, Bank Indonesia telah memangkas BI rate hingga 200 basis poin (dari 8,75% di bulan Januari hingga 6,75% di bulan Juli) di tahun 2009. Hanya saja, kebijakan konvensional seperti ini belum memberikan dampak yang signifikan sehingga kebijakan moneter yang berada diluar pakem merupakan sebuah kemestian.

Kebijakan Moneter Alternatif
Kebijakan moneter alternatif ini setidaknya terdiri dari tiga bagian, yang pertama adalah efek komitmen. Kebijakan ini mensyaratkan adanya komitmen verbal dari otoritas moneter untuk mempertahankan tingkat suku bunga yang rendah dalam periode tertentu. Ide dasarnya sangat sederhana, meskipun bank sentral terus melakukan rally panjang penurunan suku bunga akan tetapi pasar belum mendapatkan gambaran utuh tentang kebijakan moneter di masa depan. Komitmen verbal ini tentunya menjadi jaminan bagi pasar yang pada gilirannya dapat menurunkan kurva imbal hasil (yield curve) jangka panjang. Dengan demikian mekanisme transmisi moneter dan intermediasi perbankan yang selama ini terkendala oleh tinggunya suku bunga akan kembali berjalan normal.
Alternatif yang kedua adalah kebijakan kelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing). Agenda dari kebijakan ini adalah untuk melonggarkan giro wajib minimum perbankan dimana hal ini diharapkan mampu mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat. ekspansi kredit perbankan tentuya merupakan sebuah kecukupan untuk mendongkrak laju permintaan agregat. Lebih lanjut, kebijakan ini bisa menciptakan sebuah sinyal yang jelas dari bank sentral dalam upayanya mempertahankan kebijakan suku bunga rendah.
Alternatif yang terakhir yang tidak kalah penting adalah kebijakan kelonggaran kualitatif (Qualitative Easing). Dalam konteks ini, otoritas moneter diharapkan bisa berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal pembelian Surat Utang Negara (SUN). Secara natural, SUN memiliki dimensi jangka panjang dimana hal ini mempunyai implikasi terhadap kurva imbal hasil yang tinggi. Dengan adanya komitmen Bank sentral dalam menyerap SUN, kurva imbal hasil bisa memiliki rerata yang rendah. Dengan kata lain, tingkat suku bunga di pasar secara umum bisa lebih dikendalikan pada level yang rendah. Secara khusus dalam kebijakan kelonggaran kualitatif, KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) bisa kembali dihidupkan pada kondisi pasar kredit yang terlalu ketat.

Beberapa Syarat
Alternatif kebijakan ini hanya akan berjalan jika didukung oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah figur pejabat otoritas moneter yang disegani pasar. Idealnya, Gubernur Bank Indonesia merupakan figur yang kuat dimana setiap komitmennya dipercaya penuh oleh pasar. Syarat yang kedua adalah koordinasi yang efektif antara otoritas fiskal dengan otoritas moneter, Karena dengan tingkat independensi dari otoritas moneter yang tinggi sekalipun, jika tidak didukung oleh kebijakan fiskal yang baik maka tujuan dari otoritas moneter bisa jadi tidak akan tercapai. Sebagai kesimpulan, kebijakan yang baik muncul apabila pembuat kebijakan dan institusi pembuat kebijakan mempunyai kemampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap terjadinya gejolak ekonomi yang tidak terduga. Kebijakan yang sifatnya diskresi penuh berakibat pada lunturnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tetapi kebijakan yang terlalu rigid juga tidak terlalu memberikan efek yang positif, yaitu adanya ketidakmampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap gejolak ekonomi. Kebijakan yang lebih tepat untuk diterapkan adalah kebijakan diskresi yang terukur, dimana kebijakan ini akan membantu membangun terjadinya kredibilitas kebijakan jangka panjang

Tuesday, July 21, 2009

Strategi Pembangunan Indonesia

Hingar bingar pemilu presiden (pilpres) telah berangsur senyap. Tanggal 8 Juli 2009 seakan menjadi muara dari perjalanan panjang para calon presiden (capres). Jika tidak ada kejadian yang luar biasa kemungkinan besar kita akan mendapati SBY untuk kembali menjabat menjadi presiden RI. Dalam pilpres kali ini, banyak cerita yang telah bertempat tetapi hanya satu yang pasti terekam benar dalam benak publik yaitu janji-janji kampanye. Dalam setiap kampanyenya, para capres selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu jualan utamanya. Pertumbuhan ekonomi pun ditarget mulai dari yang sulit hingga berat ditakar nalar. Terlepas dari irasionalitas dalam penentuan target pertumbuhan ekonomi, konsensus para capres untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama merupakan sebuah perilaku yang obsolit. Para capres seakan kikir dalam berfikir sehingga khilaf dalam menentukan tujuan dan sarana. Oleh karenanya, menarik untuk dikaji apakah pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan atau sarana demi menggapai sesuatu yang sifatnya lebih fundamental.

Tujuan dan Sarana Pembangunan
Amartya sen, dalam bukunya yang fenomenal berjudul Development as Freedom, dari jauh hari telah mengingatkan para penguasa bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa semata-mata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Lebih lanjut, Sen memberi saran untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah jalan bagi pemerintah dalam meningkatkan fungsi pelayanan sosial kepada masyarakat. Subsidi pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial sudah semestinya mendapat porsi utama dalam rencana jangka panjang pemerintah sebab dengan fungsi-fungsi inilah pembangunan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan dapat dicapai. Dalam hal fungsi pelayanan sosial, khususnya pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar, Jepang merupakan sebuah negara yang dapat dijadikan rujukan utama. Sejak zaman restorasi Meiji, rerata melek huruf di Negara ini telah melebihi bangsa-bangsa di Eropa meskipun pada zaman tersebut, Jepang masih tertinggal jauh dari Eropa dalam proses industralisasi. Berbekal pendidikan yang memadai, Jepang dalam waktu yang tidak begitu lama telah mampu mengejar ketertinggalannya dari Eropa. Kualiatas sumber daya manusia ditenggarai sebagai sumber utama yang pada gilirannya mengakselerasi pembangunan ekonomi Jepang. Dalam konteks ini, social opportunities merupakan kunci dari sustainabilitas pertumbuhan ekonomi. Visi jangka panjang dari pembangunan ekonomi Indonesia sudah semestinya berfokus pada perluasan akses dan kesempatan masyarakat terhadap pelbagai fasilitas ekonomi.

Konsensus Washington
Tujuan-tujuan ini sebenarnya telah terangkum dalam Konsensus Washington melalui beberapa poinnya. Poin pertama adalah melalui disiplin fiskal dimana hal ini merupakan syarat utama dari sustainabilitas Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sudah merupakan rahasia umum bahwa APBN merupakan alat diskresi pemerintah yang paling ampuh, oleh karenanya dengan sistem money follow function, APBN dapat menopang laju pertumbuhan ekonomi. Celakanya, semangat dari masing-masing departemen adalah menaikkan rencana anggaran pada setiap tahun fiskal, hal ini pada gilirannya membuat APBN tidak prudent dan rentan terhadap shock eksternal. Asumsi disiplin fiskal juga merupakan fondasi demi menjalankan poin kedua dalam Konsensus Washington yaitu memfokuskan belanja pemerintah terhadap sektor-sektor yang dapat meratakan distribusi pendapatan masyarakat seperti penyediaan infrastruktur publik, subsidi kesehatan dan pendidikan. Pemenuhan akses publik ini tentunya dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat secara umum. Poin berikutnya yang tak kalah penting adalah reformasi sistem perpajakan. Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang baru tampaknya sudah mengakomodir poin ini, dimana satu hal yang paling fenomenal adalah mengenai perluasan basis pajak. Keberhasilan reformasi pajak tentu akan berkontribusi terhadap penerimaan Negara dimana seperti yang sudah kita ketahui bersama, peranan pajak hampir menyentuh 80 persen dari total penerimaan Negara. Hal ini pada gilirannya dapat diredistribusikan kepada sektor-sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti yang telah dijabarkan sebelumnya.
Beberapa poin penting lainnya adalah mengenai liberalisasi dan privatisasi. Liberalisasi yang dimaksud mencakup perdagangan, suku bunga dan investasi asing. Dalam formulasi pertumbuhan ekonomi, perdagangan memegang peranan utama. Ekspor dalam hal ini merupakan mesin dari pertumbuhan ekonomi. Ekspor yang berkesinambungan lajunya ternyata tak lepas pula dari sokongan investasi asing. Investasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional merupakan salah satu faktor penggerak ekspor Indonesia (Urata, 2009). Lebih lanjut, kepemilikan asing melalui jalan privatisasi telah mengenyahkan ketidakefisienan kerja dalam perusahaan bentukan pemerintah. Maraknya kepemilikan asing dewasa ini merupakan sebuah hal yang tidak perlu ditakutkan, karena kepemilikan asing bukan berarti asing memiliki seratus persen dari badan-badan usaha milik pemerintah, mayoritas kepemilikan tetap berada di tangan pemerintah. Berkaitan dengan hal ini, UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) telah menjadi payung hukum yang memadai. Tujuan penanaman modal, seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 UU PM, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Dalam hal mencapai tujuan-tujuan tersebut, UU PM didukung beberapa pasal seperti pada pasal 10 ayat 1 yang mewajibkan para perusahaan penanam modal untuk mengutamakan tenaga kerja yang merupakan warga negara Indonesia atau pada pasal 13 ayat 1 dan 2 mengenai pengembangan penanam modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang merupakan penyokong utama bagi penciptaan kesejahteraan rakyat serta penopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Hal yang setali tiga uang dapat kita lihat pada pasal 18 ayat 3 mengenai fasilitas penanaman modal. Pasal ini mensyaratkan bahwa penanaman modal yang diberikan fasilitas harus memenuhi beberapa kriteria dimana salah satunya adalah banyak menyerap tenaga kerja.

Beberapa syarat dan tantangan
Beberapa poin dalam Konsensus Washington tentu tidak akan berjalan tanpa adanya beberapa syarat pendukung yang didaulat Dani Rodrik semisal tata kelola pemerintahan yang baik, kebijakan anti korupsi yang ajeg, bank sentral yang independen, sistem jaring pengaman sosial yang memadai, dan target pengurangan angka kemiskinan yang konkrit.
Meskipun demikian, masyarakat tampaknya masih phobia terhadap Konsensus Washington. Stigma buruk sudah terlanjur melekat didalam memori. Para penggiat konsensus Washington seringkali di cap neoliberal dan menjadi target cemoohan masyarakat. Sebuah doktrin keliru telah terjadi, dan celakanya doktrin ini semakin kuat berhembus hingga akhirnya dijadikan para politikus demi menjatuhkan para lawannya. Jika boleh, mari kita berharap pemerintahan mendatang akan berpikir rasional dan jauh dari sikap kerdil.

Friday, March 27, 2009

MENGUAK TABIR KEBIJAKAN OBLIGASI GLOBAL

Tahun 2009 baru menapak dalam 3 bulan pertama tapi sepertinya sudah cukup banyak cerita yang menyertai. Ekspor yang menukik, terkontraksinya permintaan agregat, defisit anggaran yang membengkak serta diterbitkannya Global Medium Term Notes (GMTN) merupakan beberapa diantaranya. Rangkaian cerita diatas sepertinya saling berhubungan bagaikan membentuk episode tersendiri pada kwartal pertama tahun 2009. Kata kunci yang mungkin bisa kita sarikan adalah dampak dari krisis global serta aksi maupun reaksi pemerintah dalam menangkal dampak yang terjadi. Bila ruang interpretasi diperkenankan untuk diperluas, tampaknya pilihan kebijakan pemerintah mencerminkan kepanikan yang teramat sangat.

Data Berbicara

Cerita bermula dari kinerja ekspor yang jauh dari harapan, menurut data yang dilansir oleh BPS, ekspor Indonesia pada Januari 2009 mengalami penurunan sebesar 17,70 persen dibanding Desember 2008 yaitu dari US$8.691,8 juta menjadi US$7.153,3 juta. Sementara bila dibandingkan dengan Januari 2008, ekspor juga mengalami penurunan sebesar 36,08 persen. Penurunan ekspor Januari 2009 disebabkan oleh menurunnya ekspor migas sebesar 23,85 persen yaitu dari US$1.243,7 juta menjadi US$947,1 juta. Sementara ekspor nonmigas mengalami penurunan sebesar 16,67 persen dari US$7.448,1 juta menjadi US$6.206,2 juta. Melemahnya daya permintaan pasar global serta melemahnya harga minyak dunia adalah aktor utama dibalik menukiknya kinerja ekspor.

Sementara itu dari sisi permintaan agregat, data inflasi bulanan bisa dijadikan parameter terkontraksinya daya beli masya rakat. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari data inflasi bulanan yang dilansir oleh BPS dimana pada Januari tahun 2009 terjadi deflasi sebesar 0,07 % dan pada bulan Februari terjadi inflasi sebesar 0,21 %. Pada tahun 2008, inflasi month to month pada bulan Januari dan Februari adalah berturut-turut sebesar 1,77 % dan 0,65 % sehingga secara komparatif inflasi pada awal tahin 2009 lebih rendah dibandingkan 2008. Jika dirunut agak kebelakang, tren deflasi bahkan sudah mulai bertempat pada bulan Desember 2008 dimana pada bulan ini tercatat deflasi sebesar 0,04 %. Padahal, periode Desember dan Januari secara tradisional merupakan bulan penghasil inflasi dimana pada bulan-bulan tersebut, konsumsi masyarakat meningkat sebagai akibat beberapa perhelatan besar berupa hari besar keagamaan serta tahun baru. Tren deflasi secara tidak langsung mengindikasikan terkontraksinya daya beli masyarakat. Sebuah kondisi yang tentunya cukup mengkhawatirkan mengingat dalam kurun waktu delapan tahun terakhir (2001 – sekarang), struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan terbesar. Pada tahun 2001 misalnya, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 67,32 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara, pada tahun 2002, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan 223 basis points (bps) jika dibandingkan tahun 2001, yakni dari 67,32 persen meningkat menjadi 69,55 persen. Hal yang perlu diketahui, dari tahun 2001 hingga 2004, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB masih berfluktuatif dengan tren terus menaik. Namun, sejak tahun 2005 hingga triwulan keempat 2008, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB terus mengalami tren penurunan.

Reaksi dari Pemerintah


Melihat gelagat buruk dari krisis global, pemerintah kemudian menggelontorkan beberapa paket stimulus yang pada gilirannya menambah beban defisit anggaran secara cukup signifikan. Defisit anggaran kini telah membukukan rekor tersendiri dengan tercapainya angka 2,5 % defisit terhadap PDB. Sementara itu, kinerja ekspor yang memburuk pada gilirannya mempunyai potensi untuk menggoyang posisi cadangan devisa dari level psikologisnya. Dalam kwartal tiga hingga kwartal empat 2008 saja Bank Indonesia telah merilis penurunan posisi cadangan devisa dari USD 57 miliar hingga USD 51 miliar. Dengan merujuk pada data ekspor, tren kemerosotan cadangan devisa tampaknya akan terus berlanjut. Anjloknya posisi cadangan devisa dibawah level USD 50 miliar tentu sangat rentan terhadap aksi spekulatif.

Oleh karenanya demi menutup defisit dan mencegah kemerosotan cadangan devisa, pemerintah lalu menggelontorkan GMTN dengan besaran yang fenomenal yaitu sebesar USD 3 miliar di awal bulan ini. Asalkan dikelola secara benar, keberadaan GMTN dapat berfungsi sebagai sumber dana yang berlaku efektif dalam memompa aktifitas perekonomian domestik, tapi tampaknya syarat kehati-hatian menjadi elemen yang terlupakan oleh pemerintah tatkala menerbitkan GMTN. Memang tidak mudah menyedot dana dalam jumlah yang besar ketika kondisi likuiditas di pasar dunia tengah kering kerontang. Akan tetapi tidaklah elok kiranya jika kompetisi untuk mendapatkan dana global dilakukan dengan langkah yang menghalalkan segala cara. Pembengkakan utang dalam skala masif ini akan dibebankan kepada pembayar pajak dan generasi mendatang dalam bentuk peningkatan pajak. Peningkatan beban pajak akan menjadi disinsentif bagi perekonomian dan kian memperberat kinerja ekonomi ke depan.

Efek lainnya, jika pada saat bersamaan semua negara berebut dana pinjaman dari pasar finansial global melalui penerbitan surat utang, dikhawatirkan akan terjadi crowding out effect yang membuat sektor swasta akan makin kesulitan mendapat dana untuk usahanya dan memicu melonjaknya suku bunga. Ini akan membuat pembiayaan untuk sektor produktif atau kegiatan ekonomi yang meningkatkan produktivitas dan standar hidup juga semakin sulit. Selain aspek kehati-hatian, aspek dari transparansi juga luput dari penerbitan GMTN ini. Secara rasional, jika terjadi kasus permintaan berlebih (oversubscribe) maka sudah sepantasnya harga dari obligasi menjadi lebih mahal yang tentunya juga berimbas pada rendahnya suku bunga yang ditawarkan. Tetapi hal ini tidak terjadi pada emisi GMTN kemarin dimana dibuahkan yield 10,5% untuk GMTN bundle pertama dengan nilai nominal Rp1 miliar berjangka waktu 5 tahun dan 11,75% untuk bundle kedua sebesar US$2 miliar yang jatuh tempo Maret 2019. Keanehan semakin menjadi ketika kita bandingkan dengan Filipina yang memiliki country risk lebih tinggi ddibanding Indonesia tetapi justru menawarkan yield yang lebih rendah pada level 8 % pertahun.

Isyarat kepanikan yang diperoleh secara implisit dari kebijakan diatas memang hanya sebatas dugaan, tetapi dugaan ini tentu pantas untuk disematkan karena banyaknya keganjilan yang terjadi. Oleh karenanya diperlukan kebijakan yang baik dalam mengantisipasi pelbagai gejolak. Kebijakan yang baik muncul apabila pembuat kebijakan dan institusi pembuat kebijakan mempunyai kemampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap terjadinya gejolak ekonomi yang tidak terduga. Pembuat kebijakan yang kredibel adalah pembuat kebijakan yang dalam membuat kebijakannya memperhatikan faktor transparansi kebijakan. Dengan tingginya tingkat transparansi kebijakan, maka gejolak ekonomi yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi.

Tanpa adanya transparansi, kebijakan dan peraturan menjadi tidak berguna, karena publik tidak dapat membandingkan antara target dengan realisasi, sehingga dapat memicu terjadinya ketidak seimbangan dalam perekonomian. Akuntabilitas menjadi suatu pendukung yang penting terhadap terwujudnya transparansi. Dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya akan muncul legitimasi yang kuat.