Dear kawan,
Seperti kita ketahui, Indonesia kehilangan seorang begawan ekonomi yang punya pengaruh sangat besar. Ide nya masih sahih untuk diimplementasikan di era modern ini. Sebelumnya saya berniat untuk mengulas ini secara detil, tapi salah seorang kolega saya di FEUI sudah mengulasnya dengan tuntas dan menarik. In Memorian, The Don.
*
*Oleh: Ari Perdana*)
*
*
*
*Bagian I: Sang ‘Don’
*
Ia duduk di kursi roda sambil menyalami setiap tamu yang datang. Tubuh
tuanya memang tidak memungkinkannya lagi berdiri lama, dan bergerak ke
sana-sini tanpa kursi roda. Tapi kemampuannya berbicara di depan umum
selama satu jam lebih, dengan artikulasi yang jelas dan alur pikiran yang
runut menunjukkan bahwa kerentaan fisik tidak menyebabkan penurunan
kemampuan otaknya.
Hari itu Prof. Widjojo Nitisastro kembali tampil di muka publik, di acara
peluncuran bukunya berjudul Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan
Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro. Buku lain yang juga diluncurkan hari
itu adalah Esai dari 27 Negara tentang Widjojo Nitisastro. Penghargaan dari
Para Tokoh, suntingan Prof. Arsjad Anwar, Prof. Aris Ananta dan Dr. Ari
Kuncoro. Acara itu juga menjadi semacam reuni lintas generasi sejumlah
ekonom Indonesia; kolega, asisten, murid hingga muridnya murid Widjojo.
Hadir di acara itu antara lain Prof. Emil Salim, Prof. JB Sumarlin dan
Prof. Subroto – beberapa yang masih tersisa dari generasi pertama ‘Mafia
Berkeley.’
Mafia Berkeley. Sebutan ini sudah melegenda. Pertama kali dicetuskan oleh
seorang aktifis-penulis ‘kiri’ AS, David Ransom dalam sebuah
artikel Rampart edisi 4 tahun 1970. Rampartadalah sebuah majalah yang
awalnya terbit sebagai media literatur kelompok Katolik, tapi belakangan
menjadi media kelompok ‘kiri baru.’ Majalah ini sendiri berhenti terbit
tahun 1975. Saya terus terang masih belum bisa mendapatkan akses ke artikel
yang ditulis Ransom. Tapi dari sejumlah literatur sekunder yang
mencantumkannya sebagai referensi, di situ Ransom menghubungkan Mafia
Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Sukarno,
melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukkan Suharto di kekuasaan
untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada
Barat, hingga mengaitkan Widjojo dkk. dengan pembantaian massal eks PKI di
akhir dekade ‘60an.
Saya bukan ahli sejarah yang bisa memberikan pendapat akademik mengenai
kebenaran ‘teori’ ini. Sejumlah hal yang dikemukakan di situ adalah fakta.
Adalah fakta bahwa antara pertengahan 1950an hingga awal 1970an, sejumlah
pengajar lulusan FEUI menjalani studi di University of California,
Berkeley, atas biaya Ford Foundation. Adalah fakta bahwa itu terjadi di era
perang dingin yang berlangsung hingga awal 1990an, dimana baik kubu
AS/Barat dan Uni Soviet/Komunis sama-sama bertarung dalam merebut pengaruh
di seluruh Negara di dunia. Para sejarawan juga setuju bahwa CIA memainkan
peran yang signifikan dalam kejatuhan Sukarno. Dan meski banyak pihak masih
berdebat soal berapa jumlah korban pembunuhan massal pasca-G30S, adanya
pembunuhan massal itu tidak lagi menjadi hal yang bisa disangkal. Tapi
bahwa berbagai hal itu benar terjadi pada kurun waktu yang berdekatan tidak
lantas membuat semuanya bisa disimpulkan sebagai berhubungan, apalagi
berhubungan sebab-akibat. Apalagi, seperti implikasi yang coba dibangun
oleh Ransom, menyimpulkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara tampilnya
Mafia Berkeley sebagai arsitek ekonomi Orde Baru dengan pembantaian massal
eks-PKI.
Lepas dari itu, istilah Mafia Berkeley sudah jadi sebuah nomenklatur klasik
dalam sejarah Indonesia. Kebanyakan digunakan secara peyoratif, menganggap
bahwa Mafia Berkeley memang benar-benar sebuah organisasi kriminal dengan
struktur dan kode etik tertentu bak novel The Godfather karya Mario Puzo.
Orang-orang seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli, yang sempat menangani
tim ekonomi Indonesia pasca Suharto, menganggap Mafia Berkeley sedemikan
berpengaruhnya sehingga orang-orang seperti mereka yang datang dari luar
lingkaran Mafia tidak pernah bisa ‘tenang’ menjalankan peran mereka karena
selalu ‘digoyang.’ Kwik dan Rizal Ramli juga tidak pernah bosan menyalahkan
Mafia Berkeley atas berbagai masalah ekonomi Indonesia yang mereka hadapi
ketika menjabat menteri, meskipun orang-orang yang disebut sebagai Mafia
ini sudah bertahun-tahun pensiun. (Saya kira ini justru bentuk
ketidakpercayaan diri serta keengganan untuk mengakui terbatasnya kemampuan
mereka dari orang-orang seperti Kwik dan Rizal).
Banyak juga yang secara salah kaprah mengidentikkan Mafia Berkeley sebagai
kelompok pengusung dan pengadvokasi pasar bebas alias
ekonomi laissez-faires dan peran pemerintah yang seminim mungkin. Pendapat
ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Saya akan diskusikan hal ini
lebih di bagian berikut.
Istilah Mafia Berkeley sudah telanjur melekat. Prof. Widjojo, Emil Salim
dan lainnya juga agaknya tidak terlalu ambil pusing dengan istilah ini.
Saya kira istilah itu memang tidak perlu ditolak. Justru sebutan ‘mafia’
kepada Prof. Widjojo dkk. – dengan ‘Don Widjojo’ sebagai kepala keluarga,
alm. Prof. Sadli sebagai consigliere, Prof. Emil Salim dan lainnya sebagai
paracaporegime – menggambarkan satu hal: sebuah kelompok teknokrat yang
diikat oleh kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust. Ini semua yang
membuat komunikasi, koordinasi dan kerjasama di antara mereka dalam
mengeluarkan kebijakan ekonomi bisa berjalan efektif. Satu hal yang belum
bisa kita temukan lagi sekarang. Apalagi di dalam sebuah kabinet yang
disusun atas dasar terlalu banyak deal politik.
*Bagian II: Perencanaan atau Pasar?*
Nama Widjojo dkk. – para mafia dari Berkeley – seringkali disebut dalam
satu paragraf yang sama dengan kata-kata ‘pasar bebas’, ‘ekonomi liberal’
dan semacamnya. Betul, di bawah Widjojo dkk. ekonomi Indonesia mengalami
beberapa episode liberalisasi (sebagai catatan, Suharto juga tidak suka
dengan istilah ‘liberal’, maka terminologi yang saat itu digunakan adalah
‘deregulasi’). Tapi dalam tipologi aliran-aliran dalam ilmu ekonomi,
paradigma dan kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Mafia Berkeley bukan
berada di spektrum yang lebih dekat ke Hayek-Friedman. Sebaliknya, Widjojo
dkk. justru lebih memiliki karakter ‘dirigista’ – dimana perencanaan
pembangunan dan peran pemerintah adalah faktor yang penting.
Itu tentu tidak terpisahkan dari konteks sejarah. Ketika Widjojo pergi ke
Berkeley, 1957-1961, Keynesian adalah paradigma ekonomi yang dominan saat
itu. ‘Revolusi neoklasik’ yang dicetuskan oleh Milton Friedman dan kelompok
Chicago baru terjadi di tataran pemikiran menjelang akhir ‘60an.
Pengaruhnya dalam orientasi kebijakan baru akan terjadi setelah krisis
minyak dan sejumlah episode hiperinflasi di pertengahan ‘70an.
Departemen Ekonomi di Berkeley sendiri punya tradisi yang lebih dekat ke
Keynesian ketimbang neoklasik. Kelak, di awal ‘70an hingga akhir ‘80an,
paradigma riset dan pengajaran ilmu ekonomi – khususnya ekonomi makro – di
universitas-universitas terbelah menjadi dua kubu. Satu kubu lebih melihat
pentingnya kebijakan dalam stabilisasi ekonomi. Paradigma ini dianut oleh
universitas-universitas yang lokasinya di pantai: Harvard, MIT, Yale,
Princeton, NYU atau Pennsylvania di Pantai Timur serta Stanford, Berkeley
dan UCLA di Pantai Barat. Kubu lain adalah yang mengedepankan analisis di
tingkat individu yang rasional, ketidakpastian serta inter-temporal. Kubu
ini lebih skeptis terhadap peran pemerintah. Penganutnya adalah
universitas-universitas yang lebih dekat ke Great Lakes: Chicago,
Minnesota, Wisconsin, Rochester, Carnegie-Mellon dan lainnya. Dua kubu ini
sering juga dirujuk sebagai kubu ‘air asin’ (saltwater) dan ‘air tawar’
(freshwater).
Di Berkeley, Widjojo dkk. lebih spesifik menekuni cabang ekonomi
pembangunan. Sub-disiplin ekonomi pembangunan saat itu belum seberagam
sekarang. Kebanyakan literatur masih fokus pada teori pertumbuhan.
Pendekatan yang dominan adalah model kesenjangan tabungan-investasi, dan
teori yang paling berpengaruh adalah Harrod-Domar (oleh Roy Harrod, 1939
dan Evsey Domar, 1946). Teori ini melihat bahwa satu faktor utama bagi
sebuah negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah investasi.
Karya Robert Solow yang kemudian menjadi teori pertumbuhan paling banyak
dirujuk – dan dalam banyak hal menunjukkan kelemahan teori Harrod-Domar –
baru terbit tahun 1956, dan perlu beberapa tahun sebelum teori itu cukup
berpengaruh.
#####
Selain Harrod dan Domar, literatur lain yang cukup berpengaruh di periode
itu adalah karya Walt Rostow, Stages of Growth: a Non-Communist Manifesto,
yang terbit di tahun 1960, menjelang Widjojo menyelesaikan studi. Rostow
menulis, ada lima tahapan modernisasi, dari masyarakat tradisional,
persiapan tinggal landas, periode tinggal landas, tahap menuju kematangan,
dan era konsumsi massal. Akumulasi investasi adalah kunci bagi sebuah
negara untuk bisa pindah dari satu tahap ke tahap lainnya.
Tentu saya tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. hanya membaca Keynes,
Harrod-Domar dan Rostow. Poin saya adalah pemikiran dan implementasi
kebijakan ekonomi Widjojo dkk. tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks
sejarah. Spesifiknya, seperti apa perkembangan dan dinamika ilmu ekonomi di
waktu dan lingkungan saat itu.
Saya juga tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. adalah antipasar. Sebaliknya,
sebagai ekonom yang taat pada pemikiran rasionalitas, buat Widjojo dkk.
proses pembangunan ekonomi dan alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar
atau perencanaan adalah semata-mata pilihan. Seperti Widjojo menuliskan
dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963), dan
dimuat ulang dalam buku Pengalaman Pembangunan Indonesia halaman 10:
Suatu masyarakat yang sedang membangun dapat mengambil keputusan tersebut
secara implisit dengan menyerahkannya kepada berbagai kekuatan ekonomi yang
terdapat dalam masyarakat tersebut. Akan tetapi, masyarakat yang
bersangkutan dapat pula mengadakan pilihan secara sadar dan berencana.
Dalam hal yang akhir ini terdapatlah suatu usaha pembangunan berencana yang
salah satu aktivitas pokoknya berbentuk perencanaan pembangunan.
Perencanaan ini pada asasnya berkisar kepada dua hal: yang pertama ialah
penentuhan pilihan secara sadar mengenai berbagai tujuan konkret yang
hendak dicapai … dan yang kedua ialah pilihan di antara cara-cara
alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai berbagai tujuan
tersebut.
Implementasi dari perencanaan pembangunan versi Widjojo dkk. terlihat dari
berbagai hal: Pembangunan Jangka Panjang (PJP), Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita – yang melewati usia sekolah di era Orde Baru tentu bisa
melihat kemiripan antara tahap-tahap yang dikemukakan Rostow dan tujuan
tiap Repelita serta Pembangunan Jangka Panjang), serta adanya institusi
seperti Bappenas atau Bulog, serta program Keluarga Berencana (Widjojo juga
seorang demografer, disertasinya tentang tren populasi Indonesia).
Di mana peran mekanisme pasar? Mengutip istilah Prof. Emil Salim, kebijakan
ekonomi yang mereka jalankan bisa disebut sebagai planning through market.
Artinya, sebagai perencana, pemerintah menetapkan sejumlah tujuan jangka
panjang dan jangka pendek. Pemerintah bisa menetapkan tujuan, dan dalam
beberapa hal bisa secara aktif memastikan agar tujuan-tujuan itu bisa
tercapai.
Contohnya, target inflasi adalah sekian persen. Pemerintah bisa
mengusahakan agar tujuan itu tercapai dengan, misalnya, mengontrol harga
pangan lewat Bulog (kelompok pangan, terutama beras, adalah penyumbang
utama inflasi). Tapi harga beras tetap merupakan hasil dari interaksi
permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengontrol
permintaan (konsumen) dan penawaran (petani, pemilik beras yang
diproduksi). Pemerintah memang bisa memberikan insentif buat petani untuk
meningkatkan produksi. Namun usaha pemerintah tetap tunduk pada hukum
penawaran dan permintaan.
Saya sendiri melihatnya sebagai market through planning. Teori ekonomi
mengajarkan bahwa alokasi sumber daya yang terjadi lewat mekanisme pasar
adalah kondisi ideal. Tapi kondisi itu menyaratkan sejumlah hal, terutama
bahwa pasar eksis dan bekerja sempurna. Di akhir ‘60an dan awal ‘70an,
jangankan berkerja sempurna – banyak pasar bahkan tidak eksis (pasar saham
dan surat berharga adalah satu contoh). Sejumlah institusi dan
infrastruktur yang menjadi prasyarat bagi mekanisme pasar harus dibentuk
dulu.
Ini menjadikan hubungan antara frase ‘Mafia Berkeley’ dan ‘ekonomi pasar’
adalah sesuatu yang kompleks. Kita perlu memahami sejumlah konteks – mulai
dari spektrum yang ada dalam ilmu ekonomi soal pasar dan peran pemerintah,
hingga kebijakan seperti apa yang dijalankan oleh tim ekonomi yang
digawangi oleh Widjojo dkk, termasuk kondisi seperti apa yang
melatarbelakangi kebijakan itu diambil.
Satu hal, Widjojo dkk. berangkat dari tradisi ilmu ekonomi yang berbeda
dengan aliran Chicago. Pemahaman ini jadi penting karena di masa sekarang,
banyak yang menempatkan frase ‘neoliberalisme’ dengan ‘Milton Friedman’ dan
‘Mafia Berkeley’ dalam satu paragraf, bahkan kalimat, yang sama. Ini
menunjukkan betapa seringnya jargon neoliberalisme digunakan tanpa
kredibilitas. Tapi, buat saya, apa yang dilakukan Widjojo dkk. adalah
meletakkan fondasi bagi mekanisme pasar untuk bisa eksis dan bekerja dalam
ekonomi Indonesia.
Terlepas dari soal mekanisme pasar, ada satu hal lebih mendasar yang
diperkenalkan oleh Widjojo Nitisastro dalam konteks kebijakan ekonomi di
Indonesia: logika ekonomi. Kalimat di atas mungkin terkesan lucu. Tapi
itulah kondisi yang terjadi di tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno.
Persoalan ekonomi “dibiarkan terbengkalai, dianggap soal kecil ataupun
bukan soal.” Sementara itu, “prinsip-prinsip ekonomi yang bersumber pada
pikiran rasional diangap tidak perlu” (hal. 47-48, aslinya merupakan uraian
Widjojo sebagai moderator bidang ekonomi pada Simposium ‘Menjelajah Tracee
Baru’ di UI, 6-9 Mei 1966).
*Bagian III: Logika ekonomi*
Dalam tulisannya yang jadi pengantar buku ‘Pengalaman Pembangunan
Indonesia, Emil Salim menulis lebih dalam soal dikesampingkannya logika
ekonomi dalam pengambilan kebijakan di periode itu.
Di paruh pertama dekade ‘60an, 45 persen APBN dialokasikan untuk
pengeluaran militer. Ini tidak lepas dari keputusan politik untuk merebut
kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Selain militer, APBN
terserap untuk sejumlah proyek mercu suar. Ini semua dibiayai lewat,
terutama, mencetak uang.
Akibatnya, volume uang beredar jadi tidak terkendali. Teori ekonomi
mengajarkan, ada hubungan positif antara uang beredar dan inflasi. Ini yang
menjebabkan inflasi terbang ke angka 100 persen antara 1962-64, dan 650
persen dari Desember 1964-Desember 1965. Selain inflasi, neraca
perdangangan juga mengalami defisit parah, dan cadangan devisa turun dari
326,4 juta dolar AS (1960) menjadi hanya 8,6 juta dolar AS (1965).
Hutang luar negeri saat itu berjumlah 2,4 milyar dolar AS; hampir
separuhnya digunakan untuk pos militer (hal ix-x). Kebijakan ini mungkin
punya hal positif bagi pembagunan karakter bangsa dan semangat
nasionalisme. Tapi tidak bagi kesejahteraan.
Di tahun-tahun awal Orde Baru (1966-71), setelah Widjojo dkk. menggawangi
pos kebijakan ekonomi, stabilisasi harga adalah prioritas utama. Salah
satunya adalah mendisiplinkan pengeluaran pemerintah.
Hasilnya, inflasi berhasil diturunkan. Karena inflasi turun, pendapatan
riil penduduk, terutama buruh/karyawan di perkotaan, naik secara
signifikan. Dampaknya terhadap kesejahteraan terlihat dari turunnya jumlah
penduduk miskin serta tingkat ketimpangan (lihat Anne Booth dalam Bulletin
of Indonesian Economic Studies, April 2000).
Hubungan antara defisit anggaran, uang beredar dan inflasi adalah satu
contoh sederhana dari logika ekonomi yang dilupakan oleh pemerintahan
Sukarno, sekaligus salah satu instrumen awal yang digunakan Widjojo dkk.
dalam membenahi warisan problem ekonomi.
Contoh lain – juga diceritakan ulang oleh Emil Salim – adalah hubungan
antara permintaan, penawaran dan harga. Dalam menghitung volume produksi
beras, pemerintah pusat menerima laporan dari pejabat di daerah dan Biro
Pusat Statistik. Tentu banyak error, bias dan inkonsistensi dari angka yang
dilaporkan. Bisa karena murni kesalahan statistik, bisa juga karena
kecenderungan pejabat daerah melaporkan lebih tinggi dari yang sebenarnya.
#####
Namun hukum penawaran mengatakan, kalau penawaran sedikit, harga akan naik.
Kalau laporan mengatakan jumlah produksi berlimpah tapi harga beras tidak
turun, bahkan naik, tentu ada masalah dalam angka-angka yang dilaporkan.
Sebagai Ketua Bappenas, Widjojo menginstruksikan bawahannya untuk
menggunakan ‘harga beras pada musim panen’ sebagai indikator
tinggi-rendahnya produksi beras, bukan perkiraan pejabat daerah (hal.
xix-xx).
Pidato pengukuhan Widjojo sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963) memuat
pemikiran yang lebih detail tentang penggunaan economic inner logic untuk
keperluan perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan. Widjojo
membahas dengan baik sekali, dan dengan bahasa yang sederhana, tentang
kegunaan analisis ekonomi:
Yang diusahakan oleh analisa ekonomi bukanlah diperolehnya pengertian yang
serba lengkap mengenai keseluruhan yang serba kompleks tersebut, melainkan
“… berbagai hubungan umum yang terdapat di antara gejala-gejala ekonomi
tertentu” (hal 12).
Widjojo kemudian membahas mengenai penuangan analisis ekonomi dalam bentuk
persamaan matematika. Di dalam persamaan matematika, ada variabel, ada
parameter (yang besarannya konstan). Variabel bisa dibedakan sebagai
variabel eksogen dan endogen; dan mana yang dikuasai oleh pengambil
keputusan (variabel kebijakan atau instrumen), dan mana yang harus diterima
sebagai given.
Formulasi matematis dalam analisis ekonomi memiliki sejumlah kelebihan:
penajaman perumusan pengertian dan hubungan antara variabel, pernyataan
asumsi secara eksplisit, konsistensi logis antara asumsi dan kesimpulan
bisa diuji, interdepenensi antara berbagai gejala ekonomi bisa lebih mudah
ditunjukkan dan dikaji lebih jauh, dan langkah selanjutnya yaitu pengukuran
dan pengujian empiris bisa dilakukan (hal. 15).
Model ekonomi, dengan demikian:
“… dapat membantu pengambil keputusan mengambil tindakan secara rasional,
dalam arti bahwa pengambil keputusan telah memperhitungkan serta
membanding-bandingkan akibat berbagai tindakan alternatif yang dapat ia
ambil” (hal 15).
Bukan berarti Widjojo memproklamasikan supremasi pendekatan
ekonomi-kuantitatif atas disiplin ilmu atau pendakatan lainnya. Di pidato
yang sama, ia juga membahas soal kelemahan pendekatan ini. Pertama, pada
dasarnya penggunaan matematika dalam analisis ekonomi adalah reduksi dan
simplifikasi atas masalah yang kompleks dan seringkali nonlinier. Widjojo
menegaskan bahwa matematika adalah perangkat untuk mempertajam perumusan.
Penelaahan secara institusional dan perumusan konsep secara kualitatif
tetap tidak bisa ditinggalkan (hal. 14).
Kedua, Widjojo menggarisbawahi bahwa masalah produksi dan pertumbuhan
ekonomi bukanlah semata-mata gejala ekonomi. Kerjasama antara disiplin
ekonomi dan ilmu sosial lain akan sangat berguna dalam memahami sebuah
masalah. Menariknya, di paragraf yang sama ia juga menuliskan bahwa
“kerjasama antara berbagai ilmu pengetahuan tidak selalu memberikan hasil
yang memuaskan dan mungkin mengandung hal-hal yang mengecewakan (hal. 27).”
Sayang ia tidak membahas lebih lanjut tentang hal ini, jadi saya tidak bisa
menangkap konteks dan maksud dari adanya pernyataan yang terdengar paradoks
itu.
Jika pidato pengukuhan Guru Besar itu adalah ringkasan dari pemikiran
ekonomi Widjojo, maka pidato itu bisa dilihat sebagai dasar dari sintesis
antara pemikiran akademis dan kebijakan publik. Sebuah proses pengambilan
kebijakan yang didasarkan atas pendekatan ilmiah, dalam hal ini teori
ekonomi yang diimplementasikan dalam kebijakan pembangunan ekonomi.
Artinya, teori (ekonomi) bukan hanya berhenti sebagai sebuah produk ilmiah,
tapi menjadi landasan bagi kebijakan. Sebaliknya, pengambilan kebijakan
juga tidak semata-mata didasarkan pada retorika yang heroik atau deal
politik, melainkan punya pijakan pada landasan ilmiah.
Sintesis antara akademik dan kebijakan publik ini (kemudian) dikenal dengan
istilah teknokrasi. Pengambil kebijakan yang berasal dari kalangan
akademis-profesional dikenal sebagai teknokrat. Widjojo dkk. kemudian
menjadi sebuah model atas sebuah kelompok teknokrat yang menggawangi
kebijakan publik (ekonomi) di sebuah negara. Tidak semua melihat model ini
sebagai ideal. Tidak sedikit yang bahkan menganggap teknokrasi ala ‘Mafia
Berkeley’ sebagai anti-demokrasi, bahkan ‘kecelakaan sejarah.’
*Bagian IV: Kritik*
Tulisan dan pandangan kritis terhadap Mafia Berkeley sudah tidak terhitung.
Tentu kebijakan ekonomi Widjojo dkk, dan bagaimana proses pengambilan
kebijakan dilakukan, bukan hal yang bebas kritik. Tapi kita juga tidak bisa
melepaskan apa dan bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil saat itu dengan
kondisi obyektif yang saat itu. Ekonomi Indonesia dalam keadaan kacau,
negara nyaris bangkrut (bahkan tidak punya uang untuk membetulkan pagar
Istana Negara).
Sementara itu stok akademisi yang punya latar belakang ekonomi tidak
banyak. Widjojo dkk. sendiri pergi ke Berkeley untuk mengisi kebutuhan staf
pengajar FEUI yang hingga akhir 1950an kebanyakan punya latar belakang ilmu
hukum, bukan ekonomi. Dengan kata lain, ketika melontarkan kritik kita juga
perlu bertanya beberapa hal: apa pilihan yang tersedia saat itu, dan
seberapa feasible? Apa trade-off kalau yang diambil adalah pilihan
alternatif yang tersedia itu? Apa counterfactual yang akan terjadi?
Secara umum, ada dua hal besar yang jadi sasaran kritik: 1) paradigma dan
esensi kebijakan ekonomi yang dianut oleh Widjojo dkk., dan 2) adanya
dominasi sebuah kelompok teknokrat atas pengambilan kebijakan publik.
Kritik jenis pertama kebanyakan mempermasalahkan kebijakan ekonomi yang
berorientasi pada sistem ekonomi pasar, pro-Barat, bertumpu pada hutang
luar negeri, dan semacamnya. Saya justru menganggap Widjojo dkk. kurang
propasar. Buat saya, kebijakan ekonomi Widjojo dkk. yang bersifat dirigista
justru memberikan ruang yang terlalu besar buat negara dalam kegiatan
ekonomi. Negara (pemerintah pusat) menjadi institusi yang terlalu besar,
kuat dan berkuasa. Implikasinya, ini memberikan legitimasi yang begitu
besar pada negara ketika kemajuan ekonomi bisa dicapai. Legitimasi dari
kondisi ekonomi ini memberikan insentif bagi Orde Baru untuk bertindak
tidak demokratis.
Tapi kemudian posisi kritik ini menjadi dilematis. Apakah jadinya Widjojo
dkk. bersalah karena memberikan legitimasi pada Suharto lewat kemajuan
ekonomi, dan legitimasi itu digunakan Suharto untuk bertindak tidak
demokratis? Karena kalau ya, sama saja dengan mengatakan harusnya Widjojo
dkk. tidak membuat kebijakan yang membawa perbaikan ekonomi.
Tentu kondisi yang ideal adalah kalau kemajuan ekonomi bisa terjadi tanpa
memberikan legitimasi yang besar bagi Suharto. Ini bisa terjadi jika dari
awal perekonomian lebih bertumpu pada mekanisme pasar. Masalahnya, kondisi
objektif saat itu memang tidak memberikan banyak pilihan.
Pemerintah mau tidak mau harus berperan besar di sebuah negara dimana
fondasi dan infratruktur yang kokoh untuk ekonomi pasar belum tersedia,
warisan dari orientasi kebijakan Orde Lama yang menempatkan politik sebagai
panglima. Ini membuat kritik saya bahwa Widjojo dkk. sebagai kurang
propasar menjadi tidak kontekstual.
Saya kira Widjojo dkk. saat itu punya gambaran bahwa ketika landasan
kelembagaan sudah lebih kuat, perlahan-lahan dominasi negara akan
dikurangi, dan mekanisme pasar akan lebih berperan sebagai mekanisme
alokasi sumber daya lewat serangkaian deregulasi dan liberalisasi.
Liberalisasi tahap pertama adalah liberalisasi neraca modal, sebagai bagian
dari stabilisasi ekonomi antara 1966-1971.
Intinya, tujuan kebijakan ini adalah membuka capital account Indonesia
supaya modal asing, baik dalam bentuk PMA atau pinjaman punya insentif
untuk masuk. Ini adalah sebuah langkah yang sampai sekarang banyak
dikritik. Satu kubu pengritik mengatakan, kebijakan ini sama dengan menjual
bangsa Indonesia kepada modal asing.
Masalahnya, lagi-lagi ini persoalan pragmatis, bukan ideologis, sekaligus
persoalan kontekstual. Banyak yang lupa, di tahun 1966-67, negara dalam
keadaan nyaris bangkrut, dan inflasi meroket. Sumber penerimaan domestik
nyaris tidak ada, jangan dulu bicara penerimaan pajak.
Tidak mungkin membiayain anggaran dengan mencetak uang. Selama ini
pemerintahan Sukarno mengandalkan hutang dari negara blok Komunis, yang
setelah 1966 tidak lagi mau memberikan pinjaman. Sementara negara tetap
perlu uang untuk membiayai pembangunan.
Saya tidak tahu, jika mereka yang mengritik kebijakan liberalisasi neraca
modal dengan argumen nasionalisme dari kacamata sekarang berada dalam
posisi Widjojo dkk. saat itu, kira-kira langkah apa yang akan mereka ambil.
Dan persoalannya juga bukan berhutang atau tidak, karena kenyataannya
pemerintahan Sukarno juga berhutang, dan hutangnya terus naik.
Saya pun pernah punya kritik terhadap kebijakan ini. Merujuk pada buku
MacKinnon (1971), tahapan liberalisasi yang ideal adalah dimulai dari
liberalisasi sektor riil, kemudian perdagangan, baru modal dan investasi.
Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Tapi, pada akhirnya ini adalah
masalah apa yang ideal dalam buku teks dengan kenyataan. Bahwa liberalisasi
di Indonesia dimulai dari neraca modal terjadi karena dorongan keadaan.
Sekali lagi kritik saya pada Widjojo dkk. jadi kehilangan konteks sejarah.
* * *
Gagasan tentang liberalisasi ekonomi juga tidak serta-merta bisa diterapkan
dalam bentuk kebijakan, meski Widjojo dkk. ada di posisi pengambil
kebijakan. Di tahun ’70an, ketika kenaikan harga minyak menyebabkan
kenaikan signifikan atas penerimaan pemerintah, negara punya sumber daya
lebih besar untuk tidak tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi pasar.
Di periode itu dibangun banyak proyek industri padat modal seperti
petrokimia, yang antara lain didorong oleh uang dari rejeki minyak. Ini
bertentangan dengan economic inner logic karena kebijakan industri yang
demikian tidak sejalan dengan teori keunggulan komparatif. Sebagai negara
dengan banyak penduduk, keunggulan komparatif Indonesia adalah
industri-industri padat karya.
Dan tujuan pembangunan lima tahun di periode awal adalah membangun industri
yang menghasilkan barang jadi. ’Tanda tangan’ Mafia Berkeley tidak terlihat
dalam orientasi kebijakan seperti ini. Widjojo tetap berusaha agar rejeki
minyak bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Salah satunya adalah
program SD Inpres, yang menjadi salah satu program pembangunan
infrastruktur pendidikan dengan skala terbesar dalam sejarah pembangunan
ekonomi negara-negara di dunia.
Liberalisasi tahap berikutnya baru bisa terjadi di awal dan pertengahan
‘80an. Itu pun karena dorongan keadaan: jatuhnya harga minyak. Pemerintah
tidak lagi bisa mengandalkan penerimaan minyak untuk membiayai pembangunan.
Maka pembangunan ekonomi sekarang harus bertumpu pada pelaku swasta
(non-pemerintah). Caranya adalah mendorong ekspor non-migas, terutama dari
sektor industri padat karya. Sumber pendanaan investasi dari dalam negeri
juga harus didorong.
Di sini pun terlihat bahwa meski jatuhnya harga minyak memaksa negara untuk
mengurangi dominasinya dalam kegiatan ekonomi, tetap ada batas-batas bagi
gagasan liberalisasi untuk dijalankan. Liberalisasi ekonomi akan mengancam
penerimaan rente yang selama ini dinikmati oleh kelompok kepentingan,
terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dan Widjojo dkk., meski banyak
orang mengira mereka begitu berkuasa, tetap tidak bisa menembus ruang-ruang
ini.
Itulah mengapa liberalisasi di periode ‘80an terjadi di sektor keuangan dan
perbankan (lewat kebijakan deregulasi yang dikenal dengan PAKTO dan PAKNO).
Memang ada alasan objektif untuk meliberalisasi sektor keuangan. Iklim
finansial yang represif tidak akan mendukung tujuan untuk mengembangkan
industri dan meningkatkan ekspor non-migas.
Tapi ada juga alasan ekonomi-politik: pemain di sektor perbankan saat itu
belum banyak. Tekanan dari para kroni dan kelompok kepentingan juga lebih
kecil dibanding meliberalisasi, misalnya, terigu atau kelapa sawit.
Deregulasi perbankan di periode ‘80an membuat krisis akibat jatuhnya harga
minyak tahun ’82 bisa dilewati.
Bahkan setelah itu Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Widjojo sendiri sejak 1983 tidak lagi masuk di kabinet. Masih ada Subroto,
Emil Salim, Ali Wardhana, JB Sumarlin, lalu Arifin Siregar, Radius Prawiro,
Rahmat Saleh, lalu belakangan SB Joedono.
* * *
Kelompok kritik yang kedua mempermasalahkan dominasi kelompok teknokrat
seperti Mafia Berkeley dalam kebijakan publik. Selain itu, banyak kebijakan
yang diambil tidak transparan dan melalui sebuah perdebatan publik. Dengan
kata lain, adanya Mafia Berkeley mencederai demokrasi. Saya bukan ahli
politik, dan saya akui saya tidak punya cukup argumen akademis untuk
membahas soal ini. Tapi ada dua tanggapan umum.
Pertama, soal transparansi pengambilan kebijakan. Saya kira, problemnya ada
pada keseluruhan proses pengambilan kebijakan di era Suharto. Tidak salah
jika dikatakan proses pengambilan kebijakan ekonomi saat itu tidak
transparan. Demikian halnya kebijakan hukum, politik (ingat lima UU
politik), sensor buku, media dan film, hingga berbagai keputusan terkait
IPTN, mobil nasional dan sebagainya. Lalu apa yang membuat Mafia Berkeley
dan kebijakan ekonomi jadi lebih tidak demokratis dibanding lainnya?
Kedua, soal dominasi Mafia Berkeley dalam kebijakan. Hal ini sesungguhnya
masih sangat diperdebatkan. Benarkah Mafia Berkeley demikian berkuasanya
menentukan arah kebijakan? Pada akhirnya Widjojo dkk. tetap hanya salah
satu dari sejumlah ‘aktor’ yang berkompetisi atas pengaruh.
Bahkan dalam bidang ekonomi, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa peran
Widjojo dkk. tetap terbatas. Meski menggunakan ekonomi sebagai fondasi
untuk mendapatkan legitimasi, negara Orde Baru punya logika sendiri. Dan
ini justru menunjukkan bahwa dominasi Widjojo dkk. dalam mempengaruhi
kebijakan Suharto tidak sebesar dan sedominan yang banyak digambarkan.
Ada ruang-ruang dimana Widjojo dkk. tetap tidak bisa mempengaruhi Suharto.
Contohnya adalah mismanajemen penggunaan penerimaan negara dari rejeki
minyak tahun yang berujung pada krisis Pertamina tahun ‘70an. Uang yang
berlimpah mendorong Pertamina melakukan ekspansi berlebihan ke kegiatan
yang ada di luar bisnis intinya, seperti membangun hotel, perusahaan
penerbangan dan sebagainya.
Pertamina saat itu adalah sebuah ‘negara di dalam negara’ yang dikuasai
oleh klik di luar Mafia Berkeley. Contoh lain adalah proteksi terhadap
industri terigu yang diberikan hingga bertahun-tahun adalah contoh lain.
Pemegang monopoli terigu adalah kelompok usaha Salim yang dekat dengan
Suharto.
Beberapa kali Widjojo dkk. meminta Suharto untuk menghapus monopoli terigu,
karena konsumen yang kebanyakan penduduk miskin akan diuntungkan dengan
harga terigu yang lebih murah. Tapi usaha ini selalu kandas, bahkan hingga
era ’90an saat SB Joedono menjabat Menteri Perdagangan.
Peran kelompok Widjojo dkk. juga makin turun memasuki ‘90an, ketika
percaturan politik-ekonomi juga berubah. Di sisi bisnis, liberalisasi
membuat posisi kelompok pengusaha relatif terhadap penguasa makin besar.
Selain itu banyak juga kelompok-kelompok bisnis baru – termasuk putra-putri
Suharto yang sudah beranjak dewasa – dengan kepentingan yang beragam. Dan
seringkali kepentingan mereka tidak sejalan dengan gagasan liberalisasi
ekonomi. Jadi ironis karena liberalisasi tahap awal memberi ruang buat
swasta untuk lebih berperan. Tapi ketika mereka mendapat tempat, mereka
melobi kekuasaan untuk mengurangi liberalisasi ekonomi.
Di sisi politik, pola patron-clientship makin kompleks dan dinamis. Banyak
kelompok baru yang berkompetisi untuk mendapatkan akses ke Suharto.
Termasuk kelompok teknolog yang mengusung ide tentang kebijakan ekonomi
yang lebih ‘nasionalis’ (baca: inward-looking dan proteksionis).
Meski posisi kunci bidang ekonomi masih dipegang oleh Mafia Berkeley (dalam
arti lebih luas), pengaruh mereka secara umum makin turun. Di saat yang
sama, Suharto juga merasa perlu merangkul aliansi dengan kelompok teknolog
serta Islam. Peran kapitalis kroni juga makin besar, terutama yang
melibatkan putra-putri Suharto.
Hasilnya adalah periode ‘90an yang ambivalen. Liberalisasi ekonomi tetap
berlanjut, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam WTO dan APEC serta
sejumlah deregulasi investasi. Di saat yang sama kita juga melihat berbagai
kebijakan yang proteksionis dan inward-looking seperti subsidi untuk IPTN
yang diambil bukan hanya dari APBN tapi dari dana non-budgeter, tata niaga
cengkeh dan jeruk (yang diberikan pada Tommy Suharto dan Tutut), serta
proyek mobil nasional (lagi-lagi Tommy).
*Bagian V: Penutup*
Terlalu banyak yang bisa ditulis tentang Widjojo Nitisastro dan Mafia
Berkeley. Tapi di bagian penutup ini saya hanya ingin mengangkat tiga hal.
Pertama, apakah keberadaan Mafia Berkeley dalam sejarah politik-ekonomi di
Indonesia adalah sesuatu yang by design? Saya selalu punya masalah dengan
pandangan serba konspiratif yang melihat bahwa segala sesuatu adalah hasil
dari sebuah desain besar, dan semua individu adalah instrumen dari sebuah
kepentingan. Tidak ada ruang bagi independensi individu dalam kerangka
berpikir demikian. Tidakkah dunia jadi menjemukan kalau begitu?
Tentu kita tidak bisa menampik bahwa pemerintah AS punya kepentingan dengan
membiayai sejumlah akademisi Indonesia untuk belajar di negeri mereka.
Pemerintah Uni Soviet juga memberikan beasiswa untuk banyak pelajar
Indonesia ke Moskow dan Jerman Timur di periode yang kurang lebih sama.
Semua pihak di era perang dingin punya kepentingan, dan saling bertarung
untuk merebut pengaruh di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Semata-mata demi argumen – jika benar Mafia Berkeley adalah bagian dari
proyek AS di era perang dingin, mengapa AS berhasil, sementara Uni Soviet
atau RRC gagal? Jika Sukarno begitu dicintai, mengapa ia tidak berhasil
membuat seluruh rakyat berpihak padanya di sekitar 1966? Jika ide-ide besar
komunisme (PKI) begitu menarik, kenapa itu tidak cukup? Jawaban yang saya
ajukan adalah karena ide-ide besar itu tidak sejalan dengan kondisi ekonomi
yang baik. Bahkan, cara Sukarno merealisasikan ide-ide besarnya membuat
situasi ekonomi lebih buruk.
Dengan kata lain, Mafia Berkeley adalah salah satu dari beberapa multiple
equilibrium. Benar, ada kepentingan di sana. Tapi kepentingan saja tidak
akan cukup jika kondisi ekonomi dalam negeri saat itu masih cukup baik.
Kepentingan dan krisis ekonomi saja tidak cukup jika Widjojo dkk. tidak
punya visi, gagasan tentang perbaikan ekonomi serta kemampuan untuk
menjalankan gagasan itu.
Kedua, seberapa besar dominasi Mafia Berkeley dalam menentukan keputusan
akhir kebijakan ekonomi di Indonesia? Dari uraian di atas, saya menunjukkan
bahwa Widjojo dkk. bukanlah kelompok teknokrat yang punya cek kosong atas
semua kebijakan pemerintah. Dalam sejumlah hal, Widjojo dkk. memang bisa
meyakinkan Suharto untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gagasan
mereka (lihat kisah waktu Widjojo meyakinkan Suharto untuk mendevaluasi
Rupiah di tahun 1986, padahal setahun sebelumnya Suharto baru mengumumkan
bahwa tidak akan ada lagi devaluasi di bab 17). Tapi ada ruang-ruang dimana
Suharto tidak mau menegosiasikan posisinya pada Widjojo dkk. Ketika ini
terjadi, keputusan akhir tetap ada pada Suharto.
Dalam jargon akademis, ini menunjukkan bahwa hipotesis ’negara teknokratis’
dan ’negara komprador’ (Robison 1986) tidak sepenuhnya terbukti. Orde Baru
lebih menunjukkan pola ’negara patrimonial’ (Anderson 1983), dimana Suharto
memosisikan diri sebagai pusat kekuasaan. Di akhir ’80-an dan ’90an,
lansekap politik-ekonomi menunjukkan pola ’pluralisme terbatas’ (Liddle
1991, senada dengan MacIntyre 1990 meski istilah pluralisme terbatas
dicetuskan oleh Liddle).
Ketiga, bagaimana melihat relevansi model Mafia Berkeley dalam konteks
sekarang?
Banyak yang berpendapat, kebijakan publik sebaiknya tidak diserahkan pada
satu kelompok teknokrat. Saya tentu lebih suka jika pengambilan kebijkan
ekonomi lebih ditentukan oleh sistem ketimbang individu atau kelompok.
Tapi secara pribadi saya merasa Indonesia beruntung mendapatkan Widjojo
dkk. di tahun 1967 yang membawa economic inner logic ke dalam kebijakan.
Seperti halnya Indonesia beruntung mendapatkan ekonom-ekonom seperti
Boediono, Sri Mulyani, Mari Pangestu, Armida Alisjahbana, juga Chatib
Basri, Anggito Abimanyu, Moh. Ikshan atau Raden Pardede, yang menjaga
economic inner logic di pemerintahan sekarang.
Di sisi lain, mereplikasi model Mafia Berkeley juga tidak mudah. Stok
ekonom generasi sekarang datang dari universitas yang beragam. Bahkan yang
punya latar belakang sama, misalnya lulusan FEUI (karena hanya itu yang
bisa saya jadikan contoh), ada perspektif yang cukup plural dalam memandang
kebijakan ekonomi seperti apa yang harus diambil, dan bagaimana. Ada lowest
common denominator yang dipercaya bersama. Tapi lowest common denominator
ini pun makin kecil.
Meski demikian, pengalaman Widjojo dkk. menunjukkan bahwa – sekali lagi –
kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust di antara pembuat kebijakan
adalah variabel penting dalam pengambilan kebijakan. Itu yang selalu saya
ingat ketika istilah ‘Mafia Berkeley’ ada dalam benak saya. (SELESAI)
Tuesday, March 13, 2012
In Memoriam, Don Nitisastro
Wednesday, March 7, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)