Friday, March 27, 2009

MENGUAK TABIR KEBIJAKAN OBLIGASI GLOBAL

Tahun 2009 baru menapak dalam 3 bulan pertama tapi sepertinya sudah cukup banyak cerita yang menyertai. Ekspor yang menukik, terkontraksinya permintaan agregat, defisit anggaran yang membengkak serta diterbitkannya Global Medium Term Notes (GMTN) merupakan beberapa diantaranya. Rangkaian cerita diatas sepertinya saling berhubungan bagaikan membentuk episode tersendiri pada kwartal pertama tahun 2009. Kata kunci yang mungkin bisa kita sarikan adalah dampak dari krisis global serta aksi maupun reaksi pemerintah dalam menangkal dampak yang terjadi. Bila ruang interpretasi diperkenankan untuk diperluas, tampaknya pilihan kebijakan pemerintah mencerminkan kepanikan yang teramat sangat.

Data Berbicara

Cerita bermula dari kinerja ekspor yang jauh dari harapan, menurut data yang dilansir oleh BPS, ekspor Indonesia pada Januari 2009 mengalami penurunan sebesar 17,70 persen dibanding Desember 2008 yaitu dari US$8.691,8 juta menjadi US$7.153,3 juta. Sementara bila dibandingkan dengan Januari 2008, ekspor juga mengalami penurunan sebesar 36,08 persen. Penurunan ekspor Januari 2009 disebabkan oleh menurunnya ekspor migas sebesar 23,85 persen yaitu dari US$1.243,7 juta menjadi US$947,1 juta. Sementara ekspor nonmigas mengalami penurunan sebesar 16,67 persen dari US$7.448,1 juta menjadi US$6.206,2 juta. Melemahnya daya permintaan pasar global serta melemahnya harga minyak dunia adalah aktor utama dibalik menukiknya kinerja ekspor.

Sementara itu dari sisi permintaan agregat, data inflasi bulanan bisa dijadikan parameter terkontraksinya daya beli masya rakat. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari data inflasi bulanan yang dilansir oleh BPS dimana pada Januari tahun 2009 terjadi deflasi sebesar 0,07 % dan pada bulan Februari terjadi inflasi sebesar 0,21 %. Pada tahun 2008, inflasi month to month pada bulan Januari dan Februari adalah berturut-turut sebesar 1,77 % dan 0,65 % sehingga secara komparatif inflasi pada awal tahin 2009 lebih rendah dibandingkan 2008. Jika dirunut agak kebelakang, tren deflasi bahkan sudah mulai bertempat pada bulan Desember 2008 dimana pada bulan ini tercatat deflasi sebesar 0,04 %. Padahal, periode Desember dan Januari secara tradisional merupakan bulan penghasil inflasi dimana pada bulan-bulan tersebut, konsumsi masyarakat meningkat sebagai akibat beberapa perhelatan besar berupa hari besar keagamaan serta tahun baru. Tren deflasi secara tidak langsung mengindikasikan terkontraksinya daya beli masyarakat. Sebuah kondisi yang tentunya cukup mengkhawatirkan mengingat dalam kurun waktu delapan tahun terakhir (2001 – sekarang), struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan terbesar. Pada tahun 2001 misalnya, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 67,32 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara, pada tahun 2002, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan 223 basis points (bps) jika dibandingkan tahun 2001, yakni dari 67,32 persen meningkat menjadi 69,55 persen. Hal yang perlu diketahui, dari tahun 2001 hingga 2004, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB masih berfluktuatif dengan tren terus menaik. Namun, sejak tahun 2005 hingga triwulan keempat 2008, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB terus mengalami tren penurunan.

Reaksi dari Pemerintah


Melihat gelagat buruk dari krisis global, pemerintah kemudian menggelontorkan beberapa paket stimulus yang pada gilirannya menambah beban defisit anggaran secara cukup signifikan. Defisit anggaran kini telah membukukan rekor tersendiri dengan tercapainya angka 2,5 % defisit terhadap PDB. Sementara itu, kinerja ekspor yang memburuk pada gilirannya mempunyai potensi untuk menggoyang posisi cadangan devisa dari level psikologisnya. Dalam kwartal tiga hingga kwartal empat 2008 saja Bank Indonesia telah merilis penurunan posisi cadangan devisa dari USD 57 miliar hingga USD 51 miliar. Dengan merujuk pada data ekspor, tren kemerosotan cadangan devisa tampaknya akan terus berlanjut. Anjloknya posisi cadangan devisa dibawah level USD 50 miliar tentu sangat rentan terhadap aksi spekulatif.

Oleh karenanya demi menutup defisit dan mencegah kemerosotan cadangan devisa, pemerintah lalu menggelontorkan GMTN dengan besaran yang fenomenal yaitu sebesar USD 3 miliar di awal bulan ini. Asalkan dikelola secara benar, keberadaan GMTN dapat berfungsi sebagai sumber dana yang berlaku efektif dalam memompa aktifitas perekonomian domestik, tapi tampaknya syarat kehati-hatian menjadi elemen yang terlupakan oleh pemerintah tatkala menerbitkan GMTN. Memang tidak mudah menyedot dana dalam jumlah yang besar ketika kondisi likuiditas di pasar dunia tengah kering kerontang. Akan tetapi tidaklah elok kiranya jika kompetisi untuk mendapatkan dana global dilakukan dengan langkah yang menghalalkan segala cara. Pembengkakan utang dalam skala masif ini akan dibebankan kepada pembayar pajak dan generasi mendatang dalam bentuk peningkatan pajak. Peningkatan beban pajak akan menjadi disinsentif bagi perekonomian dan kian memperberat kinerja ekonomi ke depan.

Efek lainnya, jika pada saat bersamaan semua negara berebut dana pinjaman dari pasar finansial global melalui penerbitan surat utang, dikhawatirkan akan terjadi crowding out effect yang membuat sektor swasta akan makin kesulitan mendapat dana untuk usahanya dan memicu melonjaknya suku bunga. Ini akan membuat pembiayaan untuk sektor produktif atau kegiatan ekonomi yang meningkatkan produktivitas dan standar hidup juga semakin sulit. Selain aspek kehati-hatian, aspek dari transparansi juga luput dari penerbitan GMTN ini. Secara rasional, jika terjadi kasus permintaan berlebih (oversubscribe) maka sudah sepantasnya harga dari obligasi menjadi lebih mahal yang tentunya juga berimbas pada rendahnya suku bunga yang ditawarkan. Tetapi hal ini tidak terjadi pada emisi GMTN kemarin dimana dibuahkan yield 10,5% untuk GMTN bundle pertama dengan nilai nominal Rp1 miliar berjangka waktu 5 tahun dan 11,75% untuk bundle kedua sebesar US$2 miliar yang jatuh tempo Maret 2019. Keanehan semakin menjadi ketika kita bandingkan dengan Filipina yang memiliki country risk lebih tinggi ddibanding Indonesia tetapi justru menawarkan yield yang lebih rendah pada level 8 % pertahun.

Isyarat kepanikan yang diperoleh secara implisit dari kebijakan diatas memang hanya sebatas dugaan, tetapi dugaan ini tentu pantas untuk disematkan karena banyaknya keganjilan yang terjadi. Oleh karenanya diperlukan kebijakan yang baik dalam mengantisipasi pelbagai gejolak. Kebijakan yang baik muncul apabila pembuat kebijakan dan institusi pembuat kebijakan mempunyai kemampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap terjadinya gejolak ekonomi yang tidak terduga. Pembuat kebijakan yang kredibel adalah pembuat kebijakan yang dalam membuat kebijakannya memperhatikan faktor transparansi kebijakan. Dengan tingginya tingkat transparansi kebijakan, maka gejolak ekonomi yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi.

Tanpa adanya transparansi, kebijakan dan peraturan menjadi tidak berguna, karena publik tidak dapat membandingkan antara target dengan realisasi, sehingga dapat memicu terjadinya ketidak seimbangan dalam perekonomian. Akuntabilitas menjadi suatu pendukung yang penting terhadap terwujudnya transparansi. Dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya akan muncul legitimasi yang kuat.